Proyek SpaceX milik Elon Musk ini memproyeksikan belanja modal (Capex) sebesar US$10 miliar atau sekitar Rp164,21 triliun (kurs Rp16.421 per dolar AS), mengonfirmasikan komitmen besar dari perusahaan ini dalam membangun infrastruktur jaringan satelitnya.
Sementara itu, pesaing Starlink seperti OneWeb yang beroperasi di orbit sekitar 1.200 km diestimasi memiliki belanja modal sebesar US$2,4 miliar atau sekitar Rp39,41 triliun. Lalu, Telesat yang berada di orbit 1.000 km mengalokasikan capex senilai US$5 miliar atau sekitar Rp82,1 triliun. Adapula, Amazon dengan Project Kuiper yang memiliki orbit antara 590–630 km mengestimasi alokasi capex senilai US$10 miliar atau sekitar Rp164,21 triliun.
Keempat konstelasi satelit ini memiliki target pasar yang mencakup backhaul seluler, fixed and mobile broadband, dan pemerintahan. Namun, kehadiran Starlink di Indonesia juga menimbulkan pro dan kontra. Terdapat kekhawatiran bahwa Starlink dapat melakukan predatory pricing yang dapat mengancam bisnis operator telekomunikasi eksisting, baik dari segi layanan seluler, operator jaringan kabel serat optik (FTTH), operator jaringan satelit geostasioner (GSO), penyelenggara jasa internet (internet service provider/ISP), maupun penyelenggara menara.