TAMPANG.COM – Angkasa luar kini semakin penuh dengan satelit, khususnya sejak dekade 2020-an, saat dunia teknologi telekomunikasi mengalami lonjakan yang luar biasa. Perkembangan pesat ini tidak hanya mengubah wajah komunikasi global, tetapi juga menciptakan persaingan sengit antar perusahaan besar yang berlomba-lomba untuk menguasai orbit rendah Bumi (LEO) dan menyediakan layanan internet global.
Meningkatnya Jumlah Satelit dan Dominasi Orbit LEO
Sejak awal perjalanan satelit komunikasi, lebih dari 14.450 satelit telah diluncurkan hingga tahun 2022. Dari jumlah tersebut, sekitar 6.680 satelit masih aktif beroperasi, dengan mayoritas berada di orbit GEO (Geostationary Earth Orbit) yang terletak sekitar 36.500 km di atas permukaan Bumi. Namun, tren terbaru menunjukkan pergeseran ke orbit LEO (Low Earth Orbit), dengan satelit-satelit yang lebih kecil dan lebih ringan yang beroperasi pada ketinggian antara 500 km hingga 2.000 km.
Satelit-satelit GEO seperti Satria-1 dan satelit HTS (High Throughput Satellite) yang dimiliki oleh Kementerian Komunikasi Digital Indonesia, umumnya berukuran besar, beratnya bisa mencapai sekitar 5 ton, dan memiliki umur operasional sekitar 15 hingga 20 tahun. Sebaliknya, satelit-satelit LEO seperti Starlink milik Elon Musk, Amazon Project Kuiper, OneWeb, dan banyak lagi, hadir dalam ukuran yang jauh lebih kecil, dengan berat mulai dari 1 kilogram hingga sekitar 227-260 kilogram.
Musk dan Dominasi Starlink dalam Layanan Internet Global
Salah satu pelopor terbesar dalam menguasai layanan internet melalui satelit LEO adalah Elon Musk dengan proyek Starlink. Musk berencana meluncurkan hingga 42.000 satelit Starlink hingga tahun 2027, dengan setiap minggu mengirimkan hingga 60 satelit dari Florida menggunakan roket SpaceX Falcon 9. Dengan investasi lebih dari 10 miliar dollar AS (sekitar Rp 165 triliun), Starlink berupaya menghubungkan seluruh penjuru dunia, termasuk daerah terpencil dan samudra yang selama ini sulit dijangkau layanan internet tradisional.