Menurut Sundeep Gantori, analis dari UBS, saat ini masih banyak ketidakpastian soal siapa yang akan menanggung beban biaya tambahan ini: apakah Apple akan membaginya dengan para pemasok, atau langsung membebankan semuanya kepada konsumen. “Jangka waktu tarif dan skalanya pun belum sepenuhnya jelas,” ujarnya.
Saat ini, sebagian besar proses manufaktur Apple masih dilakukan di China, negara yang terkena tarif sebesar 54% dari pemerintahan Trump. Negara lain seperti India, Vietnam, dan Thailand, yang juga menjadi basis produksi Apple, turut dikenakan tarif tinggi, sehingga Apple hampir tidak memiliki ruang untuk melarikan produksi mereka ke wilayah bebas tarif.
JPMorgan Chase memperkirakan bahwa kebijakan tarif baru ini bisa menyebabkan Apple menaikkan harga jual produk-produknya secara global sebesar 6%. Artinya, bukan hanya konsumen di Amerika yang terdampak, tetapi juga pembeli di seluruh dunia akan merasakan mahalnya produk Apple dalam waktu dekat.
Kondisi ini memberikan tekanan besar kepada Apple, tidak hanya dari sisi harga saham dan produksi, tetapi juga dari sisi reputasi. Mampukah Apple menjaga loyalitas pelanggan di tengah melonjaknya harga dan menurunnya daya saing di pasar internasional?
Yang pasti, kebijakan tarif Trump telah memicu efek domino di sektor teknologi, membuat para raksasa industri harus berstrategi ulang dalam menghadapi ketidakpastian global.