"Semoga draf tersebut tidak disahkan, dan kita semua dapat terus memperjuangkan hak dan kebebasan berekspresi serta kesetaraan untuk semua," harap Nia.
Tidak hanya Nia Dinata, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, juga menyoroti beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran yang dianggap bertabrakan dan kontradiktif dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Draf RUU langsung menyentuh pada hak-hak yang diatur dalam Pasal 28 UUD Tahun 1945 amandemen kedua, terutama kebebasan berekspresi, berbicara, dan menuangkan ekspresi dalam bentuk tulisan, gambar, lisan, dan lainnya," ungkap Ninik.
Ninik juga menyoroti beberapa hal yang menjadi perhatian Dewan Pers, diantaranya adalah upaya untuk membedakan produk jurnalistik oleh media massa konvensional dengan produk serupa oleh media yang menggunakan frekuensi telekomunikasi.
Pada saat yang sama, larangan penayangan jurnalisme investigasi dalam draf RUU Penyiaran juga dianggap bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (2) UU Pers. Larangan tersebut dianggap dapat meredam kemerdekaan pers.
Menurut Ninik, draf RUU Penyiaran bukanlah regulasi pertama yang ingin meredam kebebasan berekspresi dan menghilangkan hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Pembatasan-pembatasan serupa juga pernah terjadi pada tahun 2015 saat pemerintahan Presiden Joko Widodo, serta dalam UU Pemilu Tahun 2017 yang ingin membatasi penyiaran hasil pemilu, UU Cipta Kerja, hingga UU KUHP.