Ada banyak hal menarik yang terkait dengan investasi besar yang dilakukan oleh CEO SpaceX, Elon Musk, dalam proyek satelit Starlink. Satelit tersebut direncanakan untuk beroperasi di orbit bumi rendah (Low Earth Orbit/LEO). Untuk membangun satu satelit tersebut saja, biaya yang dikeluarkan mencapai USD45 juta atau sekitar Rp738 miliar. Tidak hanya itu, Elon Musk juga bercita-cita untuk meluncurkan 6.000 satelit Starlink tahun ini dengan total investasi mencapai USD270 miliar atau Rp4.430 triliun.
Starlink sebagai proyek ambisius SpaceX memang menarik perhatian banyak pihak, terutama karena biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menerbangkan satelit LEO masih lebih murah dibandingkan dengan satelit Geostationary Earth Orbit (GEO) dan Medium Earth Orbit (MEO). Untuk satelit GEO saja, SpaceX harus mengalokasikan belanja modal yang lebih mahal, mencapai sekitar USD400 juta atau Rp6,56 triliun per satelit.
Dalam hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa satelit LEO memang lebih menguntungkan secara finansial karena investasi yang dikeluarkan jauh lebih rendah, yaitu sekitar Rp738 miliar per satelit untuk menerbangkannya. Hal ini menjadi alasan kuat mengapa SpaceX lebih fokus pada pengembangan dan pemanfaatan satelit LEO daripada jenis satelit lainnya, seperti GEO dan MEO.
Selain dari segi biaya, satelit LEO juga memiliki kelebihan dalam hal latensi yang sangat rendah, yakni 2–22 ms. Latensi ini merujuk pada waktu yang dibutuhkan untuk mengirimkan data dari satu titik ke titik lain dan kembali lagi. Keuntungan lainnya adalah kemampuan Starlink dalam menawarkan akses internet yang super cepat. Meskipun begitu, satelit LEO juga memiliki kelemahan yakni umur yang lebih pendek, yaitu di kisaran 5–10 tahun. Hal ini berbeda dengan satelit GEO dan MEO yang memiliki umur masing-masing di rentang 15–20 tahun dan 10–15 tahun.