Permasalahan ini dimulai saat Denny mengunjungi rumah Farhat Abbas terkait komentar "Tae" yang ia tulis di media sosial sebagai tanggapan terhadap pembahasan yang dibicarakan oleh Farhat mengenai donasi Agus Salim dan Novi Pratiwi. Selama pertemuan itu, Denny sempat melontarkan kalimat provocatif, "Saya Makassar, Kau Bugis? Angkat pedangmu. Kau ada burung kan? Cabut pedangmu. Sirri na Pacce."
Tidak menyukai perkataan Denny, Farhat kemudian melaporkannya ke Polres Metro Jakarta Selatan. Tidak lama kemudian, Aliansi Bugis-Makassar juga ikut melaporkan Denny ke Polda Metro Jaya atas dugaan konflik SARA.
Dari sisi hukum, kontroversi ini memicu perbincangan mengenai batasan kebebasan berekspresi di media sosial serta perlunya pemahaman yang lebih mendalam terhadap konflik SARA di Indonesia. Selain itu, konflik ini juga mencerminkan pentingnya penyelesaian konflik dengan pendekatan dialog dan toleransi antar etnis di masyarakat.
Sementara dari sisi sosial media dan pemberitaan daring, kasus ini mencerminkan dampak dari komentar-komentar kontroversial yang tersebar di media sosial dan menyentuh isu-isu sensitif seperti SARA. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya kehati-hatian dalam menyampaikan pendapat di ruang publik, terutama di era di mana informasi dapat tersebar dengan sangat cepat.
Selain itu, kontroversi ini juga menunjukkan bahwa penyebaran informasi dan komentar di media sosial dapat memiliki konsekuensi hukum yang serius, terutama jika komentar tersebut dianggap melanggar hukum yang mengatur mengenai kebebasan berekspresi.