Di sisi lain, agama juga sering kali dijadikan alat legitimasi bagi tindakan-tindakan tertentu dalam politik. Dengan mengklaim bahwa suatu kebijakan atau tindakan mendukung nilai-nilai agama, politisi berusaha mendapatkan dukungan dari mereka yang berpegang kuat pada keyakinan tersebut. Namun, di balik itu semua, pertanyaannya tetap sama: apakah pemimpin politik tersebut benar-benar peduli pada nilai-nilai agama, ataukah hanya memanfaatkan agama demi kepentingan politiknya?
Taktik manipulasi dalam politik identitas ini tidak hanya terjadi di kalangan para politisi. Kelompok-kelompok tertentu, termasuk organisasi masyarakat sipil, juga memanfaatkan agama dalam kerangka politik identitas untuk menarik perhatian publik dan mendapatkan pengaruh. Mereka membangun narasi yang memadai untuk memperkuat identitas kelompok mereka, sering kali dengan mengorbankan kelompok lain. Dengan cara ini, mereka mempertegas posisi mereka di masyarakat sekaligus menjadikan agama sebagai alat untuk memperjuangkan agenda mereka.
Terlepas dari siapa yang memanfaatkan siapa, dampak dari politik identitas dan manipulasi agama sangat terasa dalam kehidupan sehari-hari. Diskursus publik sering kali terpecah antara "kita" dan "mereka", mendorong ketegangan sosial yang mengarah pada konflik. Dalam banyak kasus, isu-isu yang seharusnya bisa diselesaikan melalui dialog konstruktif justru menjadi semakin rumit karena sudah terjebak dalam narasi manipulatif ini.