Ketidakpuasan terhadap jalannya pilkada juga bisa memicu konflik. Ketika suara rakyat tidak dihargai atau ada upaya kecurangan dalam penghitungan suara, rasa ketidakadilan ini dapat meningkat menjadi kekacauan. Dalam beberapa pilkada, laporan mengenai penggelembungan suara, intimidasi pemilih, dan bahkan manipulasi data sering kali muncul. Hal ini mengakibatkan masyarakat merasa kecewa dan berujung pada aksi-aksi demonstrasi yang tak jarang berujung pada bentrokan.
Mengamati dari kasus-kasus sebelumnya, banyak daerah yang mengalami pilkada berdarah akibat pertarungan politik yang keras. Misalnya, beberapa wilayah di Indonesia, di mana rivalitas antara dua calon yang kuat menyebabkan terjadinya pertikaian fisik antara pendukung masing-masing. Situasi ini sangat disesalkan mengingat pilkada seharusnya menjadi momen perayaan demokrasi daripada kekerasan. Namun, ketika kepentingan kekuasaan menjadi tujuan utama, segala cara dianggap sah untuk mengalahkan lawan.
Di samping konflik fisik, pilkada juga sering menciptakan ketegangan antar masyarakat. Kesenjangan antara pendukung yang fanatik dan lawan politik dapat menyebabkan perpecahan yang mendalam dalam komunitas. Dalam situasi seperti ini, masyarakat tidak hanya menjadi korban kekerasan fisik, tetapi juga kehilangan rasa kebersamaan dan keharmonisan yang sebelumnya terjalin. Peluang untuk membangun kesepahaman antarwarga pun berkurang drastis akibat prasangka dan kebencian yang tumbuh akibat politik.