Memang, logikanya, jika Gatot Nurmantyo menghendaki pembangunan yang berkelanjutan, pastinya Gatot mendukung kelanjutan pemerintahan Jokowi hingga 2 periode.
Kalau benar pernyataan tersebut sebagai dukungan kepada Jokowi yang rencananya akan maju sebagai capres petahana pada Pilpres 2019, itu sama saja Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo telah melakukan politik praktis berupa dukung-mendukung dalam pemilu. Artinya, Gatot tertangkap basah off side.
Tetapi jika dibaca secara utuh, pidato tersebut tidak ditujukan untuk figur tertentu. Gatot berbicara tentang masa atau periode pemerintahan. Gatot menyampaikan pandangannya tentang perlunya bangsa Indonesia memiliki perencanaan jangka panjang.
Itulah kenapa Gatot sebelumnya mengatakan, “Bayangkan apabila Pak SBY tidak menjadi presiden dua periode” yang dilanjutkan dengan “tentu kita tidak mengalami situasi semacam ini. Betul.” Barulah kemudian Gatot menyatakan “Bayangkan kalau nanti dua ribu sembilan belas bukan Pak Jokowi”.
Di sinilah menariknya, Gatot bicara tentang kepentingan bangsa, Nasdem menangkapnya sebagai kepentingan pribadi dan golongan. Gatot bicara tentang kepentingan nasional jangka panjang, Nasdem menganggapnya sebagai kepentingan jangka pendek, yaitu Pilpres 2019.
Sederhananya, Gatot bilang ke timur, Nasdem mendengarnya ke atas. Tidak nyambung babar blas.
Ironisnya, Nasdem mengundang Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI. Tetapi karena ketidak-nyambungannya itu, Nasdem telah memosisikan Gatot Nurmantyo sebagai politisi.
Gatot Nurmantyo Khawatir Indonesia Terancam Di-Arab Spring-kan
Jika meng-Google, sulit menemukan pernyataan Gatot Nurmantyo yang menyinggung perlunya bangsa Indonesia memiliki perencanaan jangka panjang.
Mungkin, baru saat menghadiri rekernas Nasdem kemarin itulah untuk pertama kalinya Gatot secara lugas dan terang-terangan mengungkapkan keprihatinannya akan pembangunan di Indonesia yang dinilainya terputus-putus.
Hanya saja, dalam berbagai kesempatan, seperti saat kuliah umum di depan mahasiswa Pascasarjana Universitas Pertahanan, PMPP IPSC, Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 26 Agustus 2016, Gatot kerap menyampaikan kekhawatirannya tentang ancaman krisis energi, air dan pangan yang diperkirakan memuncak pada 2043.
Dalam berbagai kesempatan itu, Gatot bicara tentang adanya ancaman yang mengintai bangsa Indonesia beberapa tahun ke depan. Menurutnya, jika ancaman ini tidak dikelola dengan baik, bangsa Indonesia akan mengalami konflik atau perang saudara seperti yang terjadi di sejumlah negara Arab.
"Bangsa Indonesia bisa bernasib sama seperti beberapa negara Arab Spring yang mengalami konflik atau perang saudara," kata Gatot (Sumber: CNNIndonesia).
Gatot memang secara tidak langsung bicara tentang pembangunan yang berkesinambungan, tetapi bicara tentang ancaman di masa yang akan datang.
Ancaman yang diungkapkan Gatot adalah terjadinya krisis global yang berpotensi menimbulkan pertumpahan darah. Dan, logikanya, krisis sebesar itu tidak mungkin diselesaikan dalam satu-dua periode kepresidenan. Untuk itu dibutuhkan strategi atau perencanaan jangka panjang.
Sebagai Panglima TNI, Gatot pastinya tidak ingin Indonesia di-Suriah-kan dan Tegal di-Raqqa-kan. Kekhawatiran Gatot tidak berlebihan mengingat sejumlah gejala yang mirip dengan yang dialami di sejumlah negara Arab sudah nampak di Indonesia.
Pada pertengahan Oktober 2017 lalu, Kota Raqaa di Suriah mengalami kehancuran hingga 80%. Selain itu, 1.873 penduduk Raqqa tewas akibat bombardir serangan udara.