Sayangnya, opini-opini itu salah besar. Isu Saracen justru melimbungkan Jokowi sekaligus melambungkan Prabowo dan calon lawan Jokowi lainnya.
Kuncinya sederhana, kasus ini mengakibatkan semakin menguatnya polarisasi antara pendukung dan penentang Jokowi. Dan, dilalahnya, populasi pendukung Jokowi lebih kecil ketimbang penentangnya.
Pertanyaannya, kenapa kasus Saracen mengakibatkan semakin menguatnya polarisasi?
Jawabannya juga sangat sederhana. Perang terhadap hoax dan ujaran kebencian yang seharusnya menjadi perang bersama, tetapi dirasa hanya ditujukan kepada kelompok yang dianggap sebagai penentang Jokowi.
Itulah kenapa sekalipun disadari betul jika Jonru sudah berulangkali diduga menyebarkan hoax dan ujaran kebencian, tetapi dukungan kepada Jonru pun mengalir sebab kader PKS ini dianggap sebagai korban ketidakadilan.
Hal serupa juga terjadi pada saat pemerintah menggaungkan “Saya Indonesia. Saya Pancasila”. Seruan ini berbuah backfire, karena kelompok pendukung Jokowi meneriakkan seruan itu sambil menuding “grup sebelah” sebagai kelompok anti-NKRI, anti-Pancasila, anti-Bhineka Tunggal Ika.
Melihat situasi yang terjadi, yang dilakukan penentang Jokowi adalah menjaga dosis polarisasi agar tidak sampai overdosis. Sebab, jika polarisasi sampai menimbulkan benturan, apalagi jika waktu terjadinya berdekatan dengan Pemilu 2019, maka pemerintah Jokowi dapat memundurkan Pemilu 2019 sampai waktu yang tidak ditentukan.
Jika Pemilu 2019 diundur, siapa yang untung dan siapa yang buntung?
Posisi Jokowi saat ini sedang lemah. Elektabilitasnya terus menukik hingga jauh dari “persyaratan” capres petahana dalam pilpres yang menggunakan hitungan 50% plus 1.
Sebagaimana diketahui, Litbang Kompas merilis elektabilitas Jokowi di angka 42%. Elektabilitas Jokowi versi Litbang Kompas ini mungkin yang tertinggi, sebab menurut rilis lambaga survei lainnya, elektabilitas Jokowi sudah di bawah 35%.
Dari tren tingkat elektabilitasnya yang dipastikan akan terus menukik, sudah bisa dipatikan jika Jokowi tidak mungkin memenangi Pilpres 2019.