Proses pemusnahan massal ini berlangsung dalam beberapa tahap, dimulai dengan pengusiran dari rumah mereka, ditambah dengan pelarangan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Ratusan ribu Yahudi ditahan di ghetto-ghetto, di mana mereka hidup dalam kondisi yang sangat buruk dan tidak manusiawi. Dengan bantuan teknologi modern dan sistem administrasi yang canggih, Nazi melaksanakan operasi yang dikenal sebagai "Solusi Akhir" atau "Final Solution". Ini adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada rencana pemusnahan total terhadap populasi Yahudi di Eropa.
Kamp-kamp seperti Auschwitz, Treblinka, dan Sobibor menjadi simbol dari kekejaman dan ebangkitnya kebencian yang dilakukan oleh rezim Nazi. Di dalam kamp-kamp ini, jutaan orang Yahudi dan banyak orang lainnya, termasuk Roma, Saksi-Saksi Yehuwa, dan kelompok lainnya yang dianggap "tidak sesuai" dengan visi Nazi, menjalani siksaan yang tak terbayangkan. Mereka dieksekusi dengan cara yang brutal—dari gantungan, tembakan di kepala, hingga penggunaan gas beracun. Pemandangan mengerikan ini jelas menunjukkan bahwa Holocaust bukan sekadar perang terhadap manusia, tetapi juga terhadap kemanusiaan itu sendiri.
Penting untuk diingat bahwa Holocaust tidak hanya mempengaruhi komunitas Yahudi, tetapi juga menciptakan trauma mendalam bagi seluruh dunia. Bukan hanya dari segi kerugian jiwa yang besar, tetapi juga pengaruh psikologis yang berkepanjangan yang dirasakan oleh generasi setelahnya. Kebangkitan neo-Nazi dan bentuk baru dari anti-Semitisme menunjukkan bahwa pelajaran dari Holocaust masih relevan hingga saat ini.
Dalam konteks Perang Dunia II, Holocaust menjadi salah satu bukti nyata dari kekuatan kebencian yang dapat menyebabkan tragedi. Kemandekan moral di tengah ketidakpastian perang menyeret banyak orang pada pilihan yang mendukung kejahatan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, mengenang Holocaust adalah suatu keharusan agar kebiadaban tersebut tidak terulang kembali.