Menariknya, saat kasus chat mesum mencuat, status Firza adalah tersangka dalam kasus dugaan makar yang juga menyeret orang-orang yang dikenal dekat dengan Prabowo.
Dalam serangan berupa pembunuhan karakter, sebenarnya kebenaran bukanlah faktor penentu. Di sini yang terpenting adalah tertanamnya pandangan buruk atau negatif pada korbannya.
Dalam kasus Saracen, misalnya, meski keterkaitan Prabowo dengan kelompok ini belum terbukti, bahkan keberadaan kelompok ini pun masih dipertanyakan, tetapi, nama Prabowo sudah begitu melekat erat, di mana setiap kali nama Saracen disebut, nama Prabwo langsung terlintas dalam pikiran.
Begitu juga dengan SBY. Setelah cerita Antasari itu menyebar dan dipercaya kebenarannya, SBY sulit membantahnya apalagi melepaskan diri dari pendangan yang mengaitkannya dengan kasus pembunuhan Nasruddin.
Cerita La Nyalla, Al Khathath, Antasari, dan lainnya adalah bentuk propaganda di mana kebenaran tidak diperlukan sebagai landasannya. Sebab, kebohongan pun jika dihembuskan secara masif dan terus menerus akan lebih diterima sebagai kebenaran dibanding dengan kebenaran yang baru datang di belakang hari.
Karenanya, Prabowo dan SBY tidak perlu repot-repot mencari dalang atau otak atas serangan terhadap dirinya. Demikian juga dengan masyarakat, terutama netizen, tidak perlu menduga-duga dalang di balik layar serangan terjadap Prabowo dan SBY. Sebab, sosok yang sekarang ada dalam pikiran bukanlah dalangnya.
Anggap saja situasi ini sebagai pegelaran komedi situasi. Coba cek di Google dengan kata kunci “9 Desember 2017”, tanggal di mana La Nyalla mengaku dimarahi dan dimaki-maki oleh Prabowo.