Ada sebuah kisah yang sangat akrab di telinga kita, dan sering kali menyisakan luka yang dalam: kisah tentang seorang cowok yang ditemani dan didukung oleh pasangannya sejak ia memulai segalanya dari nol. Pasangannya menjadi penopang, penyemangat, dan saksi dari setiap jatuh bangunnya. Namun, begitu ia mencapai puncak kesuksesan, ia justru melupakan semua pengorbanan itu dan meninggalkan pasangannya. Rasa sakit yang muncul dari pengkhianatan ini tidak hanya datang dari perpisahan itu sendiri, tetapi juga dari kebingungan dan pertanyaan: mengapa seseorang bisa melupakan orang yang menemaninya di titik terendah?
Secara psikologis, fenomena ini seringkali berakar pada perubahan identitas diri yang drastis. Saat seseorang berada di fase "nol," identitasnya erat terikat pada perjuangan, kesulitan, dan juga pada orang-orang yang mendukungnya. Hubungan yang dibangun di fase ini adalah fondasi yang kuat. Namun, ketika kesuksesan datang, identitas dirinya berubah secara fundamental. Ia bukan lagi "pria yang sedang berjuang," melainkan "pria yang sukses dan mapan." Identitas baru ini seringkali terasa tidak selaras dengan masa lalunya, dan pasangannya yang setia bisa menjadi pengingat yang konstan akan masa-masa sulit itu. Tanpa disadari, ia mungkin merasa perlu menjauh dari siapa dirinya di masa lalu untuk bisa sepenuhnya merangkul identitas barunya.