Praktik Agronomi: Penggunaan alat berat, pembukaan lahan yang tidak sesuai kontur, atau pembuatan terasering yang tidak tepat di perkebunan kelapa sawit, terutama di lahan miring, justru dapat meningkatkan risiko erosi dan longsor. Saluran drainase yang tidak terkelola dengan baik juga bisa mempercepat aliran air, berkontribusi pada banjir di daerah hilir.
Daerah Resapan Air: Konversi hutan di daerah hulu atau daerah resapan air menjadi perkebunan monokultur dapat mengurangi kapasitas tanah untuk menahan dan menyimpan air. Ini menyebabkan lebih banyak air yang langsung mengalir ke sungai, meningkatkan debit dan risiko banjir.
Meskipun kelapa sawit sebagai tanaman individu memiliki beberapa fungsi dalam mengintersep air dan mengikat tanah permukaan, perkebunan monokultur kelapa sawit dalam skala besar tidak dapat menggantikan peran krusial hutan alami dalam mencegah banjir dan tanah longsor secara efektif. Kemampuan pencegahan bencana sangat bergantung pada kepadatan vegetasi, keanekaragaman jenis tumbuhan, kedalaman sistem perakaran, serta praktik tata kelola lahan yang berkelanjutan.
Untuk mitigasi banjir dan tanah longsor yang optimal, diperlukan pendekatan tata guna lahan yang bijaksana. Ini berarti mempertahankan dan merehabilitasi hutan alami, menerapkan praktik pertanian dan perkebunan yang ramah lingkungan (termasuk kelapa sawit) yang meminimalkan erosi dan menjaga fungsi hidrologi tanah, serta menghindari konversi lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik topografi dan lingkungan suatu wilayah.