Tampang

PAUD: Fondasi Pembangunan SDM Indonesia

1 Jun 2025 09:48 wib. 21
0 0
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menggaungkan gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan dengan melarang untuk menjadikan tes baca, tulis, dan hitung
Sumber foto: Google

Jakarta, Tampang.com – Publik dikejutkan sejumlah berita yang menggoyahkan keyakinan kita terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) di negeri ini. Kasus dugaan plagiarisme oleh belasan profesor yang mencoreng dunia akademik, hanyalah satu dari sekian banyak potret buram yang mengemuka. Bahkan studi oleh dua peneliti asal Republik Ceko, Vit Machacek dan Martin Srholec, yang menganalisis jurnal-jurnal ilmiah yang diterbitkan sepanjang periode 2015-2017, menemukan negara kita menempati peringkat kedua dalam hal ketidakjujuran akademik dengan nilai 16,73 persen, hanya sedikit di bawah Kazakhstan yang mencatat 17 persen. Sebuah tamparan yang menyakitkan, tapi perlu disikapi secara serius.

Di sisi lain, kecurangan dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) yang melibatkan teknologi canggih hingga praktik perjokian bernilai ratusan juta rupiah, juga menegaskan bahwa mentalitas instan dan permisif telah menjangkiti generasi muda kita. Belum lagi kasus mengiris hati di dunia kesehatan, seperti tindakan tidak beretika oleh dokter yang seharusnya menjadi penjaga kehidupan. Potret ini memberikan gambaran bahwa karakter SDM di negara kita dan memaksa kita untuk bertanya lebih dalam: apa akar dari semua ini?

Sebagian besar perilaku menyimpang ini berpangkal pada lemahnya pengendalian diri, kemampuan untuk mengatur dorongan, emosi, dan perilaku demi mencapai tujuan yang benar. Ketika pengendalian diri rendah, integritas pun goyah. Dan tanpa integritas, seseorang akan mudah tergelincir, sekalipun memiliki kecerdasan tinggi atau pendidikan formal yang mumpuni. Kekurangan integritas ini juga sering kali dibarengi lemahnya empati, ketidakmampuan memahami atau merasakan kondisi orang lain. Padahal, empati adalah kunci dari perilaku etis dan kolaboratif dalam masyarakat modern.

Kapan Kita Mengembangkan Keterampilan Pengendalian Diri? Kemampuan mengendalikan diri dan membangun empati bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba saat dewasa. Keduanya berkembang sejak masa kanak-kanak, khususnya di usia dini, saat otak sedang berada dalam masa pertumbuhan dan plastisitas tertingginya. Pada bayi, misalnya, bagian otak yang mengatur emosi berkembang lebih dulu dibandingkan pusat berpikir rasional. Oleh karena itu, bayi menangis bukan karena ingin memanipulasi, tetapi karena belum bisa mengelola perasaan. Bayi belum memahami arti “nanti”, semua yang diinginkan harus diperoleh saat itu juga dengan senjata tangisan.

Dengan bertambahnya usia, anak belajar memahami hubungan antara perasaan dan pemikiran. Jika proses ini didampingi secara positif, melalui contoh perilaku yang baik dari orang dewasa di sekitarnya, maka terbentuklah karakter kuat, penuh empati, dan rasional. Di sinilah peran orangtua dan pengasuh sangat krusial dalam memupuk benih pengendalian diri.

Anak yang mendapatkan pengasuhan dan stimulasi pendidikan yang tepat akan berkembang menjadi manusia dengan kemampuan berpikir yang baik mengenai apa yang akan dilakukannya serta dampak dari perbuatannya. Inilah esensi manusia yang beradab. Selalu berpikir sebelum berbuat, hati-hati, dan mempertimbangkan berbagai aspek atau kemungkinan dampak ke depan.

Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Banyak anak Indonesia tidak mendapatkan stimulasi yang cukup. Mereka tumbuh dalam pola pengasuhan yang kaku, penuh perintah, dan minim ruang eksplorasi. Banyak orangtua sejak anak masih bayi tanpa sengaja mematikan beragam kemampuan berpikir anak, dengan selalu memberikan perintah atau arahan dari sisi mereka, tidak mendorong anak untuk mengembangkan beragam keterampilan berpikir, dan tidak memerdekakan dalam belajar sesuai minat anak. Bahkan kreativitas justru kian menurun saat anak-anak memasuki taman kanak-kanak. Akibatnya, kreativitas dan daya berpikir kritis mereka justru merosot sejak usia taman kanak-kanak. Bahkan, data PISA 2022 menunjukkan hanya 5 persen siswa Indonesia mampu berpikir kreatif secara mahir. Padahal, kreativitas adalah keterampilan penting pada abad ke-21 yang akan menjadi modal menghadapi berbagai tantangan kehidupan.

<123>

#HOT

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Dampak PPN 12% ke Rakyat, Positif atau Negatif?