Kritik juga disampaikan oleh pengamat pendidikan, Ubaid Matraji, yang menilai bahwa menempatkan kuliah sebagai kebutuhan tersier adalah kesalahan besar. Ia menegaskan bahwa pendidikan tinggi bukanlah hanya sebuah kebutuhan tersier, dan menyatakan, "Ibu Tjitjik menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier, mampu melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah."
Pernyataan kontroversial ini turut mendapat kecaman dari berbagai pihak yang memandangnya sebagai pembenaran atas mahalnya biaya pendidikan tinggi. Selain itu, banyak yang memandangnya sebagai upaya untuk membatasi akses terhadap pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi hak bagi setiap warga negara.
Menyikapi hal ini, penting untuk melihat bahwa akses pendidikan tinggi yang terbuka dan merata memiliki peran penting dalam memajukan sebuah bangsa. Sebuah pembangunan yang merata dan berkelanjutan akan sulit terwujud tanpa partisipasi aktif dari masyarakat dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa akses terhadap pendidikan tinggi tidak hanya menjadi hak belaka, tetapi juga merupakan sebuah kebutuhan yang dapat mendukung perkembangan bangsa ke arah yang lebih baik.
Sebagai upaya penyelarasan dengan kebutuhan masyarakat, pemerintah perlu menggelontorkan sumber daya dan anggaran yang cukup demi mendukung akses yang merata terhadap pendidikan tinggi. Kebijakan dan langkah-langkah strategis juga perlu diambil untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang adil untuk menjalani pendidikan tinggi sesuai dengan minat dan potensi yang dimiliki.