Disparitas ini tidak hanya terletak pada fasilitas fisik atau ketersediaan guru, tetapi juga pada kualitas belajar itu sendiri. Kurikulum yang sama secara nasional tidak serta merta menghasilkan kualitas pembelajaran yang sama pula. Bagaimana bisa kualitas belajar optimal jika siswa harus berbagi buku yang sudah lusuh, atau guru tidak memiliki metode pengajaran yang inovatif karena keterbatasan pelatihan? Akibatnya, ada jurang lebar dalam kemampuan siswa yang lulus dari sekolah di perkotaan dengan mereka yang lulus dari sekolah di daerah terpencil.
Pemerintah memang tidak tinggal diam. Berbagai program telah diluncurkan, seperti pengiriman guru-guru muda ke daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), pembangunan infrastruktur sekolah, hingga penyediaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, skala tantangan di Indonesia yang begitu besar membuat upaya-upaya ini terasa seperti menambal lubang yang terlalu banyak dan terlalu lebar.
Salah satu akar masalahnya adalah akses. Akses ke informasi, akses ke pelatihan guru, akses ke teknologi, dan akses ke fasilitas yang layak. Geografi Indonesia yang berupa kepulauan membuat distribusi sumber daya pendidikan menjadi sangat kompleks dan mahal. Selain itu, faktor ekonomi masyarakat juga sangat berpengaruh. Di daerah miskin, banyak anak yang terpaksa putus sekolah untuk membantu keluarga mencari nafkah, atau tidak mampu membeli perlengkapan belajar yang memadai.