Bagi Menteri Kebudayaan Fadli Zon, puisi bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan medium penting yang merekam denyut sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Dalam gelaran Sasana Sastra: Membaca 80 Tahun Indonesia di Jakarta, ia menekankan bagaimana karya para penyair dari masa ke masa menjadi saksi bisu atas perjuangan, cinta tanah air, hingga jatuh bangun sebuah bangsa. “Puisi merekam potret perjalanan bangsa kita, yang diterpa berbagai cobaan,” ujarnya. Setiap bait dianggapnya sebagai arsip emosional yang tak kalah penting dari dokumen resmi, sebab di sanalah terekam rasa, semangat, bahkan luka sebuah generasi.
Ia berharap acara ini bukan sekadar ajang pembacaan puisi, melainkan juga penghormatan bagi para tokoh bangsa yang dengan karya seni turut mengawal perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan dan seterusnya. Dari tema perjuangan, revolusi, cinta, rindu, hingga patriotisme, puisi selalu hadir sebagai cermin batin kolektif rakyat. Karena itu, ia menekankan pentingnya membangun kembali ekosistem sastra agar tetap hidup dan relevan. Di era digital, menurutnya, puisi perlu dipadukan dengan sentuhan teknologi dan musik agar mampu menarik generasi muda. “Sentuhan teknologi semakin mudah diakses. Hal ini harus meningkatkan kecintaan generasi muda terhadap sastra, terutama puisi,” katanya. Dengan pendekatan kreatif tersebut, puisi diharapkan tidak lagi dipandang kuno atau elitis, melainkan bisa hadir dalam bentuk yang interaktif dan membumi.