Jakarta dan banjir seolah jadi dua hal yang sulit dipisahkan. Setiap musim hujan tiba, genangan air sudah jadi pemandangan biasa di berbagai sudut Ibu Kota, bahkan kadang sampai melumpuhkan aktivitas kota. Fenomena ini bukan lagi sekadar siklus tahunan biasa, tapi masalah kompleks yang berakar pada berbagai faktor. Bukan hanya karena curah hujan tinggi, tapi juga kombinasi dari kondisi geografis, tata kota, hingga perilaku masyarakat. Memahami akar masalahnya penting supaya bisa mencari solusi yang lebih tepat dan efektif.
Kondisi Geografis dan Geologi Jakarta yang Rentan
Jakarta itu unik secara geografis. Letaknya di dataran rendah, bahkan sebagian wilayahnya berada di bawah permukaan laut. Sekitar 40% wilayah Jakarta Utara, misalnya, sudah berada di ketinggian di bawah permukaan laut rata-rata saat pasang. Ditambah lagi, ada 13 sungai yang mengalir melintasi kota ini dan bermuara di Teluk Jakarta. Saat hujan deras di wilayah hulu (misalnya Bogor dan Puncak), air dari sungai-sungai ini akan melimpah ke Jakarta.
Yang lebih parah, Jakarta mengalami fenomena penurunan muka tanah (land subsidence) yang sangat cepat. Penurunan ini terjadi karena eksploitasi air tanah yang berlebihan untuk kebutuhan rumah tangga dan industri, serta beban bangunan yang sangat berat. Penurunan tanah membuat posisi Jakarta semakin rendah, sehingga air semakin sulit mengalir ke laut dan mudah tergenang. Bahkan, tembok penahan banjir laut (giant sea wall) yang dibangun pun menghadapi tantangan besar karena tanah di baliknya terus turun. Ini adalah masalah geologis yang memperparah kondisi Jakarta.
Tata Ruang dan Infrastruktur yang Kurang Memadai