Revisi Undang-Undang Hak Cipta yang tengah dibahas DPR RI menjadi momentum penting untuk memperkuat peran Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Pengamat kebijakan publik Universitas Padjadjaran, Yogi Suprayogi, menilai fungsi LMKN tidak boleh hanya sebatas menarik dan mendistribusikan royalti musik, tetapi juga diperluas menjadi wadah pembinaan pelaku ekonomi kreatif terkait kesadaran hak cipta.
“Harus diperketat, tapi juga diberikan pembinaan. Bukan hanya ditarik royaltinya, tapi juga bagaimana pelaku ekraf itu dibuatkan hak ciptanya dan paham pentingnya perlindungan karya,” ujar Yogi di Jakarta, Jumat (29/8).
Menurutnya, salah satu masalah mendasar dalam industri kreatif Indonesia adalah rendahnya kesadaran pelaku terhadap pentingnya hak kekayaan intelektual (HKI). Banyak karya lahir, namun tidak diikuti dengan pendaftaran maupun perlindungan hukum yang memadai. Akibatnya, potensi ekonomi kreatif menjadi tidak maksimal dan rawan pembajakan.
Selain pembinaan, Yogi menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan royalti oleh LMKN. Ia mendorong agar lembaga ini tidak hanya diaudit pemerintah dalam konteks perpajakan, tetapi juga diaudit secara independen oleh auditor khusus yang tidak berada di bawah pemerintah.