Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya sudah mempertimbangkan berbagai faktor dalam menyusun kebijakan tersebut, meskipun hasilnya belum sepenuhnya memuaskan.
Kritik dan Pandangan dari Profesor
Di balik kebijakan yang diterapkan, Yassierli juga menceritakan sebuah kejadian menarik. Ia mengatakan ada seorang profesor yang mengkritiknya dengan mengatakan bahwa dia "bodoh" karena merumuskan kebijakan BHR untuk para driver ojol. Profesor tersebut berpendapat bahwa hingga kini, belum ada negara lain yang menerapkan kebijakan serupa.
Meskipun mendapat kritik pedas, Yassierli tetap teguh pada pendiriannya. "Ini bukan masalah contoh dari negara lain, ini adalah DNA bangsa kita. Kepedulian terhadap pekerja pada hari-hari besar keagamaan adalah bagian dari nilai-nilai kita sebagai bangsa. Kami ingin memastikan bahwa tidak ada yang terlewatkan, terutama saat hari-hari penting bagi masyarakat seperti Lebaran," jelasnya dengan penuh keyakinan.
Kebijakan yang Tetap Dijalankan Demi Kesejahteraan Ojol
Menaker Yassierli menegaskan bahwa meski kebijakan ini menuai kontroversi, pemerintah tetap berkomitmen untuk menjalankan program kesejahteraan bagi para pekerja ojol. Menurutnya, kebijakan tersebut seharusnya tidak dilihat hanya sebagai “best practice” dari negara lain, tetapi sebagai bagian dari upaya untuk memberikan perhatian yang layak kepada pekerja yang bekerja keras dalam sektor transportasi online.
Sementara itu, perusahaan penyedia layanan ojek online seperti Gojek dan Grab sudah memberikan klarifikasi terkait jumlah BHR yang diterima beberapa driver. Mereka menjelaskan bahwa nominal BHR yang diterima para driver tidak seragam dan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk tingkat keaktifan dan produktivitas para pekerja ojol tersebut. Sebagai contoh, ada driver yang menerima BHR hingga lebih dari Rp 50.000, sementara yang lain hanya mendapatkan jumlah yang lebih kecil. Semua itu bergantung pada berbagai pertimbangan.