Aksi Mogok Buruh dan Keberanian Marsinah
Pada awal 1993, pemerintah mengimbau perusahaan menaikkan upah minimum buruh sebesar 20 persen. Namun, PT CPS menolak. Hal ini memicu aksi mogok kerja yang berlangsung dari 3–5 Mei, di mana Marsinah menjadi sosok penting dalam penyusunan 12 tuntutan buruh, termasuk kenaikan gaji pokok harian dan tunjangan kehadiran.
Tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil ke markas Kodim Sidoarjo dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Esoknya, Marsinah mendatangi Kodim untuk mencari tahu nasib rekan-rekannya. Malam itu, ia menghilang.
Konspirasi, Dugaan Aparat, dan Manipulasi Keadilan
Empat hari kemudian, Marsinah ditemukan tewas. Dugaan keterlibatan aparat mulai mencuat ketika beberapa petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur hukum. Mereka bahkan mengaku disiksa agar mengakui merencanakan pembunuhan Marsinah.
Meski sembilan orang ditahan, termasuk pemilik perusahaan Yudi Susanto dan kepala personalia yang sedang hamil, Mahkamah Agung membebaskan semuanya karena bukti dianggap tidak cukup kuat. Keputusan ini memicu amarah publik dan menciptakan tanda tanya besar mengenai siapa pelaku sesungguhnya.
Perhatian Dunia dan Desakan Penegakan HAM
Kasus Marsinah menyita perhatian internasional. Organisasi buruh global seperti AFL-CIO mengecam tindakan brutal ini dan mendesak pemerintah AS mencabut fasilitas GSP untuk Indonesia. Desakan tersebut memaksa pemerintah membentuk Tim Terpadu dan Presiden Soeharto kala itu berjanji akan mengusut tuntas.