Para mahasiswa ini mengajukan uji materiil atas Pasal 70 Ayat (1) huruf b UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena ingin menambahkan norma larangan kampanye untuk presiden, wakil presiden, menteri, wakil menteri, serta kepala badan negara. Mereka berharap larangan ini dapat mencegah praktik kampanye yang tidak etis dan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara dalam kontestasi pemilu seperti Pilkada 2024. Seiring dengan perkembangan politik dan pesta demokrasi di Indonesia, perlunya aturan yang lebih komprehensif untuk mengatur partisipasi pejabat negara dalam proses pemilihan umum menjadi hal yang mendesak.
Hal ini juga sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang berkualitas dan jujur, di mana setiap pemilihan umum harus dilaksanakan secara adil dan bebas dari pengaruh atau intervensi yang tidak seharusnya oleh pejabat negara yang terlibat dalam penyelenggaraan negara. Karenanya, penambahan norma larangan kampanye bagi pejabat negara yang strategis dalam UU Pilkada diharapkan dapat menjadi langkah yang memperkuat integritas dan transparansi dalam proses politik di Indonesia.
Dalam konteks UU Pilkada, Pasal 70 Ayat (1) huruf b yang mengatur larangan kampanye hanya untuk aparatur sipil negara (ASN), anggota polisi, dan TNI masih dianggap kurang memadai untuk mengontrol dan mencegah keterlibatan pejabat negara yang lebih tinggi dalam proses pemilihan umum seperti Pilkada. Meskipun aturan ini sudah ada, namun dalam prakteknya masih terdapat celah-celah bagi pejabat negara lain untuk melakukan kampanye yang tidak etis serta berpotensi memanfaatkan kekuasaan dan sumber daya publik untuk kepentingan politik pribadi atau golongan.
Dalam pernyataannya, Fauzi Muhamad Azhar, salah satu penggugat, menyampaikan keprihatinannya terhadap potensi cawe-cawe atau kampanye yang tidak etis yang dapat menimbulkan polemik dan kegaduhan di masyarakat, khususnya terkait Pilpres 2024. Pada prinsipnya, aturan yang komprehensif mengenai larangan kampanye bagi pejabat negara dalam proses pemilihan umum menjadi suatu keharusan untuk menjaga integritas dan netralitas penyelenggara negara dalam konteks pesta demokrasi.
Dalam pandangan hukum, perlindungan terhadap proses pemilihan umum juga meliputi upaya untuk mencegah adanya campur tangan atau intervensi dari pejabat negara yang dapat mengarah pada praktik-praktik politik yang tidak etis atau bahkan pertentangan kepentingan. Hal ini tidak hanya mendasarkan pada asas keadilan dan kepatutan dalam proses pemilihan umum, tetapi juga sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak politik masyarakat untuk memilih tanpa ada pengaruh yang tidak seharusnya dari pejabat negara.