Dalam proses penyelidikan, KPK juga menemukan bahwa Yofi diduga menerima fee dari para rekanan pelaksana proyek di lingkungan DJKA itu senilai 10 sampai 20 persen dari paket pekerjaan yang mereka menangkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 12 huruf a atau huruf b dan/atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, korupsi dalam lingkungan DJKA telah menjadi perhatian serius bagi KPK dan pemerintah. Program-progam perbaikan dan pembangunan jalur kereta yang seharusnya menjadi sarana transportasi yang aman dan nyaman bagi masyarakat, ternyata dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak etis.
Persoalan ini harus menjadi pembelajaran bagi semua pihak terkait, termasuk Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perkeretaapian, serta perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam proses lelang proyek-proyek tersebut. Harus ada pengawasan yang lebih ketat dan transparan agar kasus serupa tidak terulang di masa yang akan datang.
Selain itu, penegakan hukum terhadap kasus korupsi ini harus dilakukan secara tegas dan adil. KPK sebagai lembaga anti korupsi harus terus melakukan upaya pencegahan dan penindakan terhadap kasus-kasus korupsi di berbagai sektor, termasuk di sektor transportasi. Kehadiran KPK diharapkan dapat memberikan efek jera bagi oknum-oknum yang masih berani melakukan praktik korupsi.