Kebijakan tersebut melibatkan pembelian bijih timah dari penambang ilegal di WIUP PT Timah Tbk melalui mitra jasa penambangan dan mitra borongan pengangkutan.
Harli mengungkapkan, "Pembelian bijih timah ini dilakukan melalui 12 perusahaan boneka yang terafiliasi dengan perusahaan swasta seperti PT Refined Bangka Tin dan PT Tinindo Internusa."
Akibat kebijakan tersebut, biaya pemurnian dan pelogaman yang seharusnya berkisar antara USD 1.000–1.500 per metrik ton melonjak hingga USD 3.700–4.000. Hal ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp300,003 triliun.
Tersangka AA sebelumnya telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tipikor Pangkal Pinang dalam kasus serupa. Berdasarkan Putusan Nomor: 8/Pid.Sus-TPK/2024/PN Pgp tanggal 3 Desember 2024, AA divonis tiga tahun penjara dan denda Rp100 juta, dengan subsidi penjara selama empat bulan.
Dalam kasus terbaru ini, AA diduga melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Tersangka kini ditahan di Lapas Klas IIB Sungailiat, Bangka, untuk proses hukum lebih lanjut.