Industri manufaktur di Indonesia semakin terhimpit oleh tekanan yang semakin membesar. Berbagai indikator menunjukkan pelemahan yang merugikan bagi perusahaan dan tenaga kerja, memaksa perusahaan untuk mengambil langkah drastis dalam menghadapi situasi ini.
Menurut data dari S&P Global, Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia periode Agustus 2024 mengalami kontraksi hingga 48,9. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan dari periode sebelumnya yang mencapai 49,3. S&P Global menjelaskan bahwa kontraksi ini disebabkan oleh menurunnya output dan pesanan baru, seiring dengan penurunan jumlah tenaga kerja yang tercatat secara marginal.
Terlebih lagi, tekanan ini tidak hanya dirasakan oleh sektor industri tekstil dan alas kaki, tetapi juga oleh sektor industri hilir petrokimia, khususnya industri plastik. Ketua Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, mengungkapkan bahwa industri plastik di tanah air kini berada di ambang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat serbuan barang impor dari China dan penurunan daya beli masyarakat. Fajar mengungkapkan bahwa beberapa pabrik plastik nasional sudah mengurangi jam produksi mereka dari 24 jam menjadi hanya 16 jam per hari, akibat kondisi pasar yang sulit.