Henry Raperoga, kepala operasi Axelum Resources, menjelaskan, “Iklim yang tak menentu adalah penyebab utama pasokan yang menurun. Berbagai kejadian iklim buruk ini telah mengakibatkan terjadinya penurunan hasil panen, penundaan panen, serta membatasi mobilitas petani.” Dampak dari cuaca buruk ini tak hanya dirasakan di Filipina, tetapi juga dilaporkan terjadi di Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Di ketiga negara tersebut, berkurangnya stok kelapa disertai dengan tingginya konsumsi domestik menambah daftar tantangan yang dihadapi oleh pelaku industri kelapa.
Situasi ini memaksa sejumlah pedagang di Malaysia untuk menutup operasional mereka sementara waktu. Di sisi lain, konsumen mulai diarahkan untuk mencari alternatif lain dalam memenuhi kebutuhan akan santan. Di Indonesia, harga kelapa bulat berada di kisaran Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per butir. Meskipun angka tersebut lebih rendah dibandingkan harga sebelum Lebaran 2025 yang bisa menyentuh Rp 30.000 per butir, namun situasinya tetap mencemaskan bagi para pedagang dan konsumen.
“Satu butir kelapa dijual seharga Rp 20.000 jika diolah menjadi santan, tetapi harganya menjadi Rp 18.000 jika tidak diolah. Ini semua disebabkan oleh penurunan pasokan dari wilayah Lampung,” jelas Nurdin, seorang pedagang yang ditemui di Pasar Palmerah, Jakarta, pada Rabu, 16 April 2025. Ia menambahkan bahwa harga tinggi ini sangat dipengaruhi oleh kelangkaan stok yang berasal dari Lampung, yang selama ini dikenal sebagai salah satu pusat produksi kelapa di Indonesia.