Penebangan hutan dan pembukaan lahan secara besar-besaran, terutama untuk kebutuhan tambang emas dan pasir, telah menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan di berbagai daerah Indonesia. Deforestasi bukan sekadar menghilangkan pepohonan, tetapi juga merusak keseimbangan alam yang selama ini menjaga stabilitas tanah dan mengatur aliran air. Ketika hutan hilang, tanah yang sebelumnya tertutup akar pohon menjadi rapuh, mudah tererosi, dan sulit menyerap air. Inilah awal mula berbagai bencana alam yang kian sering terjadi, terutama banjir dan longsor di musim hujan.
DLH Luwu mencatat bahwa perubahan tutupan lahan akibat pembukaan tambang emas dan pasir telah memperlemah daya serap tanah serta meningkatkan risiko aliran permukaan yang tidak terkendali. Hutan yang semestinya berfungsi sebagai penyangga air tak lagi mampu menahan derasnya hujan. Tanpa vegetasi, air langsung mengalir ke lembah dan sungai, membawa lumpur dalam jumlah besar. Kondisi ini menyebabkan sungai cepat meluap, sedangkan lereng perbukitan menjadi jauh lebih rentan terhadap longsor. Situasi inilah yang beberapa kali memicu terjadinya bencana di Luwu dan wilayah sekitarnya, terutama pada saat curah hujan tinggi.
Secara ekologis, hutan memiliki peran vital sebagai “spons alami”. Pepohonan, serasah daun, dan akar berfungsi menyerap air, menyimpannya, serta melepaskannya secara perlahan. Namun ketika kawasan hutan dibuka untuk tambang, lapisan tanah atas yang kaya unsur hara ikut terangkat. Tanah menjadi terbuka, kering, dan tidak stabil. Aktivitas penambangan emas, yang sering dilakukan melalui penggalian tanah hingga kedalaman tertentu, menyebabkan struktur tanah rusak parah. Begitu pula dengan tambang pasir yang mengikis permukaan tanah tanpa mempertimbangkan daya dukung ekologis. Hilangnya struktur tanah inilah yang membuat kawasan tambang sangat mudah longsor, bahkan pada hujan dengan intensitas sedang.