Tak hanya China, India juga menunjukkan tren serupa dalam pengurangan impor batubara, seiring dengan meningkatnya produksi domestik dan melimpahnya stok batubara di negara itu. Dengan kedua negara ini, yang selama ini menjadi pasar utama untuk ekspor Indonesia, diperkirakan akan mengurangi volume pembelian, maka perekonomian batubara Indonesia menghadapi tantangan yang semakin besar.
Hendra menambahkan, "Turunnya permintaan dari China dan India ini, yang disebabkan oleh tingginya produksi dan inventaris, jelas menyebabkan tekanan pada harga. Sementara itu, biaya produksi perusahaan-perusahaan batubara juga terus meningkat, salah satunya disebabkan oleh kebijakan B40, kenaikan tarif royalti, dan kewajiban penempatan DHE yang berdampak pada biaya bunga." Ini semua telah berkontribusi pada menyempitnya margin laba perusahaan, terlebih ketika harga batubara global berada pada level terendah dalam beberapa tahun terakhir.
Dampak dari tren ini juga terlihat pada kinerja ekspor batubara Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa volume ekspor batubara Indonesia dari Januari hingga April 2025 hanya mencapai sekitar 160 juta ton. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yang tercatat sebesar 171 juta ton.
Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Rita Susilawati, menyatakan bahwa pemerintah tetap terbuka untuk melakukan diskusi dengan pelaku usaha mengenai evaluasi harga batubara acuan (HBA) agar tetap berada dalam posisi yang kompetitif di pasar. "Ekspor batubara merupakan urusan business-to-business yang berada di luar intervensi pemerintah, tetapi kami akan terus memantau dinamika yang ada di pasar," papar Rita.