Bea Cukai menetapkan nilai barang tersebut sebesar Rp 361,03 juta dengan permintaan kepada pihak sekolah untuk membayar Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK) sebesar Rp 116 juta, serta biaya penyimpanan gudang yang dihitung per hari.
"Tidak ada informasi mengenai hibah pada awalnya sehingga kami tetap memperlakukan barang ini sebagai barang kiriman dengan tarif kepabeanan," ungkap Askolani.
Besarnya tarif yang dikenakan membuat proses pengurusan 20 keyboard braille tidak dilanjutkan pada 2022. Barang tersebut hanya tersimpan di gudang DHL dan ditetapkan sebagai barang tak dikuasai (BTD) oleh Bea Cukai.
"Pada 2023, barang tersebut diinformasikan kembali kepada DHL untuk memperbaiki alamat, dokumen, dan lain-lain. Namun, komunikasi ini hanya sampai kepada PJT, belum mencapai kami di Bea Cukai. Kami hanya diinformasikan bahwa barang ini kiriman dan kami kemudian memberikan tarifnya. Namun, dokumentasi dan proses lainnya masih berada di DHL dan diurus oleh importirnya," jelasnya.
Kemudian pada 2024, masalah ini mencuat di media sosial hingga mendapat perhatian publik. Bea Cukai pun menindaklanjuti hingga diketahui bahwa barang tersebut sebenarnya merupakan hibah, bukan barang kiriman biasa.
Setelah mengetahui masalah ini, pemerintah memfasilitasi keluarnya 20 keyboard braille dari wilayah kepabeanan tanpa dikenakan biaya bea masuk. Pemerintah memiliki regulasi untuk memfasilitasi barang hibah bagi pendidikan maupun kegiatan sosial lainnya.