Selain itu, penelitian dari Harvard University juga menunjukkan bahwa otak seseorang yang menggunakan media sosial menunjukkan respons yang serupa dengan respons terhadap zat adiktif. Hal ini menunjukkan bahwa bermain media sosial berpotensi menciptakan rasa adiksi atau kecanduan, sehingga tren peralihan dari smartphone ke dumb phone semakin diminati.
Penggunaan smartphone dan media sosial pada remaja dan anak-anak menjadi perhatian serius, mengingat potensi dampak negatifnya terhadap kesehatan mental dan fisik. Banyak anak usia dini yang sudah terpapar dengan smartphone, dan jika tidak diantisipasi dapat menimbulkan dampak jangka panjang. Oleh karena itu, penggunaan dumb phone bisa menjadi solusi, karena minimnya fitur dapat mengurangi kecanduan untuk terus terkoneksi dengan teknologi, serta mengurangi masalah kesehatan mental.
Sebagai contoh, seorang remaja bernama Luke Martin memutuskan untuk menggunakan dumb phone dengan alasan ingin memiliki lebih banyak kontrol terhadap rasa FOMO dan keinginannya untuk terus terkoneksi dengan internet. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh seorang orang tua, Lizzie Broughton, yang memilih untuk memberikan ponsel dumb phone kepada anaknya sebagai upaya untuk mengontrol penggunaan teknologi.
Meskipun demikian, tren peralihan dari smartphone ke dumb phone masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Dari sisi bisnis dan profit, media sosial menawarkan banyak manfaat bagi perusahaan dan pelaku bisnis. Namun, dari segi kesehatan dan medis, penggunaan dumb phone bisa memberikan kontrol terhadap pengguna yang ingin mengurangi screen time atau kecanduan smartphone.