Pada tahun 2019 sebelum pandemi, China menyambut sekitar 49,1 juta pelancong. Sementara untuk kali ini sekitar 17,25 juta orang asing telah tiba di China tahun ini hingga Juli. Hal ini menunjukkan penurunan signifikan dalam jumlah kunjungan wisatawan ke China, yang berkontribusi pada penurunan permintaan akan rute penerbangan.
Kondisi permintaan yang rendah juga telah mengganggu maskapai penerbangan domestik di China. Grant mengatakan bahwa meskipun akan ada pemulihan bagi maskapai penerbangan China, namun proses tersebut akan memakan waktu yang cukup lama. "Namun, ketika maskapai penerbangan terbesarnya merugi US$ 4,8 miliar (Rp 75 triliun) pada tahun 2022 dan tahun lalu 'hanya' US$ 420 juta (Rp 6,6 triliun), ketika semua maskapai penerbangan internasional utama memperoleh laba, mereka masih harus menempuh jalan panjang," tambahnya.
Masalah biaya operasional yang tinggi juga menjadi faktor lain yang memengaruhi keputusan maskapai penerbangan internasional untuk berkurangnya operasional di China. Perang Rusia-Ukraina turut memberikan dampaknya, karena Moskow menutup wilayah udaranya bagi pesawat Eropa dan Amerika Serikat.
Dampak dari situasi ini menyebabkan banyak maskapai penerbangan Eropa harus terbang pada rute yang lebih jauh untuk mencapai Asia, menyebabkan biaya operasional yang semakin tinggi. Namun, maskapai penerbangan China tidak diwajibkan tunduk pada larangan wilayah udara Rusia, sehingga mereka dapat terbang pada rute yang sama ke Eropa lebih cepat dan lebih murah daripada maskapai Eropa lainnya.