Korea Selatan, sebuah negara yang dikenal dengan perkembangan teknologi dan budaya pop-nya yang mendunia, kini menghadapi masalah serius yang menarik perhatian masyarakat global. Kualitas hidup penduduknya semakin menurun, dan hal ini tercermin dalam meningkatnya angka bunuh diri yang mengkhawatirkan.
Dalam laporan tahunan Indikator Kualitas Hidup 2024 yang dirilis oleh Badan Statistik Korea, kualitas hidup warga Korea Selatan mengalami penurunan signifikan, di mana skor kepuasan hidup subjektif mereka tercatat hanya 6,4 dari 10, mengalami penurunan sebesar 0,1 poin dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dari data yang dipublikasikan oleh The Korea Herald, peringkat kepuasan hidup Korea Selatan dalam konteks Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga mencerminkan betapa suramnya keadaan ini.
Negara ini berada di peringkat ke-33 dari 38 negara anggota dengan skor rata-rata hanya 6,06, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata global yang mencapai 6,69. Angka ini semakin menekankan betapa banyaknya warga Korea yang merasa tidak puas dengan hidup mereka. Finlandia bahkan menduduki peringkat teratas dengan skor kepuasan hidup 7,74.
Faktor ekonomi berperan besar dalam tingkat kepuasan hidup. Mereka yang memiliki penghasilan di bawah 1 juta won (sekitar Rp11 juta) per bulan mengalami kepuasan hidup yang lebih rendah, dengan skor hanya mencapai 5,7, sementara mereka yang berpenghasilan di atas 5 juta won (sekitar Rp55 juta) melaporkan skor yang lebih tinggi, yakni 6,6. Hal ini menegaskan bahwa kondisi ekonomi yang sulit dapat mempengaruhi kesejahteraan mental dan emosional individu.
Analisis yang lebih dalam menunjukkan bahwa tren bunuh diri semakin mengkhawatirkan. Pada tahun 2023, Korea Selatan mencatat angka bunuh diri tertinggi dalam sembilan tahun terakhir, berada pada level 27,3 kasus per 100.000 orang. Angka ini mencerminkan lonjakan signifikan dan kembali menyamai level yang tercatat pada tahun 2014.