Tampang.com – Defisit yang ditanggung BPJS Kesehatan secara nasional terus membengkak dari tahun ke tahun. Pada 2014 atau tahun pertama berdiri, mesti “menombok” Rp 3,3 triliun dan kini diestimasi mencapai Rp 9 triliun.
Itu pula yang melatarbelakangi wacana penyakit katastropik (berbiaya tinggi) tak lagi ditanggung badan usaha pelat merah tersebut. Bahkan, itu sudah dilontarkan di hadapan DPR RI saat rapat dengar pendapat, pekan lalu. Ada delapan penyakit yang dinilai paling membebani dengan pengobatan berbiaya tinggi. Adapun itu, jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, talasemia (kelainan darah), sirosis hati, hemofilia, dan leukemia.
Dari delapan tersebut, penyakit jantung menempati urutan pertama yang paling menguras, dengan total pembiayaan pengobatan medis senilai Rp 7,48 triliun. Kondisi itu semakin diperparah bahwa selama ini nominal untuk menanggung jaminan kesehatan lebih besar daripada jumlah iuran yang disetorkan peserta BPJS.
Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim Rini Retno Sukesi belum mau berbicara banyak mengenai langkah yang bakal ditempuh penyelenggara tunggal jaminan kesehatan nasional tersebut menghindari defisit. Diskes, terang dia, masih menunggu sikap Kementerian Kesehatan. “Lihat dulu bersama-sama. Harapannya yang terbaik untuk masyarakat,” ujar Rini.
Dia menyampaikan, beban terbesar BPJS Kesehatan banyak tersedot untuk pembiayaan pengobatan penderita penyakit yang memerlukan perawatan medis lama dan berbiaya tinggi atau katastropik, termasuk penyakit tidak menular. Perempuan berjilbab itu menegaskan, pihaknya terus berupaya menekan penyakit itu agar menurun. Jadi, lanjut dia, bukan fokus terhadap kuratif atau pengobatan, melainkan menggencarkan upaya promotif dan preventif (pencegahan).
Di tempat terpisah, Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Kaltim dr Edy Iskandar turut menanggapi kabar yang mengemuka belakangan ini. Sepengetahuan dia, BPJS Kesehatan tak boleh melepas begitu saja pembiayaan perawatan medis penyakit katastropik. “Penyakit ini memakan banyak biaya, bisa mencapai ratusan juta rupiah setiap orang. Perlu pengobatan seumur hidup secara terus-menerus. Sebaiknya, BPJS tetap menanggung,” tuturnya.
Bila pun tak bisa menanggung keseluruhan, BPJS Kesehatan bisa menerapkan sistem cost sharing (berbagi pembiayaan) dengan nominal premi khusus untuk mendapatkan benefit tambahan layanan katastropik. Namun, untuk penerima bantuan iuran (PBI) diharapkan tetap ditanggung sepenuhnya.
Apakah berdampak ke rumah sakit bila BPJS Kesehatan tak menanggung biaya perawatan medis penyakit katastropik? Edy yang juga direktur RSUD Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan itu menerangkan, berdasar pengalaman terdahulu banyak pasien yang tak mampu meneruskan pengobatan karena kehabisan biaya. Rumah sakit, aku dia, tak bisa berbuat banyak.
Sebab, bila pasien tersebut dirawat, rumah sakit tak akan bisa memberikan pengobatan yang terbaik kepada pasien katastropik. Itu, tambah dia, karena obat tak ada yang membiayai. “Kita tahu rumah sakit tidak mungkin membiayai obat-obat tersebut. Lihat saja sekarang, BPJS Kesehatan saja berencana melepaskan diri,” terangnya. “Untuk mendapatkan pengobatan layanan rumah sakit yang standar, semua pembiayaan di rumah sakit harus dipenuhi,” sambungnya.
Dokter spesialis penyakit dalam itu menyebut, kasus penyakit katastropik tak pernah bisa turun jika promotif dan preventif masih lemah. Di Kaltim, terang dia, meski belum ada angka pasti yang didapat secara akurat, namun setiap tahun kasus penyakit golongan tersebut cenderung meningkat. Terutama, penyakit pembuluh darah jantung, kanker, gagal ginjal, dan stroke.
Sebelumnya, Humas BPJS Kesehatan Nopi Hidayat mengatakan, wacana tidak membiayai delapan penyakit katastropik belum diputuskan. Dia menyebut, wacana tersebut hanya gambaran dan referensi akademik untuk diketahui sebagai perbandingan dengan kondisi negara lain.
Di beberapa negara, jaminan kesehatan dilaksanakan dengan cost sharing. BPJS Kesehatan mencoba menerapkan hal tersebut kepada peserta dari golongan mandiri. Di luar opsi itu, BUMN tersebut menyodorkan tiga usulan lain. Pertama, mengurangi manfaat. Jadi, tak semua pelayanan ditanggung BPJS Kesehatan.
Kedua, menaikkan iuran. Misalnya, dari Rp 25 ribu menjadi Rp 35 ribu. Ketiga, pembiayaan kesehatan diambil dari pendapatan cukai rokok. Namun, usul itu masih menjadi perdebatan. Sebab, dinilai tak etis jika membiayai kesehatan dari sumber yang dinilai tak baik.
Data BPJS Kesehatan menunjukkan, delapan penyakit dengan pengobatan berbiaya tinggi pada 2016 seperti jantung sebesar Rp 7,485 triliun. Lalu disusul gagal ginjal (Rp 2,59 triliun), kanker (Rp 2,35 triliun), stroke (Rp 1,28 triliun), talasemia (Rp 485,1 miliar), sirosis hati (Rp 232,9 miliar), hemofilia (Rp 119,6 miliar), dan leukemia (Rp 183,2 miliar).