Meski belum ditemukan konten yang sangat rahasia dari hasil kajian awal, beberapa pesan ternyata memuat rincian logistik perjalanan para pejabat penting. Misalnya, pembahasan terkait kunjungan resmi ke Vatikan dan diskusi mengenai rencana perjalanan ke Yordania. Informasi semacam ini, meskipun tidak tergolong ‘rahasia negara’, tetap dapat menjadi celah berbahaya jika dimanfaatkan oleh aktor siber atau agen intelijen asing.
Pasca insiden ini, layanan TeleMessage resmi ditangguhkan pada 5 Mei 2025 sebagai bagian dari investigasi. Smarsh, perusahaan yang mengoperasikan TeleMessage dan berbasis di Portland, Oregon, belum memberikan komentar resmi terkait kebocoran data tersebut.
Gedung Putih mengonfirmasi bahwa mereka mengetahui adanya pelanggaran keamanan siber yang terjadi di platform milik Smarsh, namun tidak bersedia memberikan informasi lebih lanjut mengenai tingkat penggunaan TeleMessage di internal pemerintah. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri memilih bungkam, dan Secret Service mengakui bahwa beberapa stafnya memang menggunakan produk TeleMessage dan tengah mengevaluasi risiko yang ditimbulkan.
FEMA menyatakan bahwa mereka belum menemukan bukti bahwa data internal mereka disusupi, meskipun belum memberikan tanggapan atas salinan pesan-pesan yang telah bocor. CBP pun memberikan pernyataan singkat bahwa mereka sudah menonaktifkan penggunaan aplikasi tersebut dan tengah melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Pakar keamanan siber Jake Williams, yang pernah bekerja di Lembaga Keamanan Nasional (NSA), menilai bahwa meskipun isi pesan yang bocor tidak bersifat sangat sensitif, metadata yang terkandung dalam komunikasi tersebut bisa sangat berbahaya. Ia menjelaskan bahwa pola komunikasi, waktu, lokasi, dan struktur jaringan sosial para pejabat dapat dieksploitasi untuk keperluan intelijen.