Pejabat Belanda yang juga menjalani ibadah haji, Snouck Hurgronje, turut menyoroti masalah ini. Pada tahun 1931, ia mencatat bahwa banyak jemaah haji asal Indonesia dengan tunduk patuh melaksanakan segala tugas di luar agenda haji yang diberikan oleh orang Arab. Hal ini termasuk melakukan ziarah dan ritus-ritus yang tidak wajib, yang kemudian membutuhkan pengeluaran biaya tambahan yang cukup besar. Tidak hanya itu, Hurgronje juga mencatat bahwa orang Arab pandai melihat peluang dalam kepercayaan mitos yang dimiliki orang Indonesia.
Dalam pandangan jemaah haji asal Indonesia, keberadaan di Tanah Suci dianggap sebagai sarana pembersihan diri dari segala dosa. Oleh karena itu, mereka meminta untuk disemprotkan air zamzam sebanyak tiga kali saat tiba di Makkah dan dalam perjalanan pulang dari Madinah. Namun, warga Arab melihat hal ini sebagai oportunisme untuk mendulang keuntungan finansial. Mereka meminta bayaran kepada para jemaah yang tidak menyadari bahwa air zamzam seharusnya diperoleh secara gratis.
Selain itu, Hurgronje juga menyoroti kasus penipuan yang dilakukan dengan dalih penitipan uang. Banyak jemaah haji asal Indonesia membawa sejumlah uang sebagai bekal perjalanan, badal haji, atau untuk diserahkan kepada keluarga di Makkah. Oleh para penipu, uang ini kemudian dititipkan kepada seorang syekh haji. Namun, setelah dititipkan, uang tersebut sulit untuk dikembalikan atau jika kembali, seringkali dipotong komisi dan disalahgunakan.