Persepsi dan imajinasi juga memainkan peran penting dalam keputusan pola makan kita. Masyarakat saat ini dipenuhi dengan iklan dan promosi yang menggugah selera terhadap makanan tidak sehat. Pesan yang dipresentasikan di televisi, media sosial, dan berbagai platform lainnya sering menyoroti kesenangan dan kenikmatan yang dapat diperoleh dari makanan ini. Tidak jarang, gambar-gambar makanan yang menggoda dan penawaran “diskon besar-besaran” menjadikan orang lebih cenderung memenuhui keranjang belanja mereka dengan makanan tidak sehat.
Tensions dengan pola makan sehat juga bisa menjadi faktor yang memengaruhi kita. Dalam banyak budaya, makanan sehat terkadang dianggap kurang menarik atau menyulitkan untuk dipersiapkan. Makanan lebih sehat sering memerlukan waktu dan usaha yang lebih untuk disiapkan dan dinikmati. Di sisi lain, makanan tidak sehat sering kali tersedia secara instan, memakan waktu sedikit untuk disiapkan atau bahkan bisa dibeli dengan mudah di fast food. Kepraktisan ini menjadi daya tarik tambahan bagi banyak orang yang merasa sibuk dengan pekerjaan dan rutinitas sehari-hari.
Selain itu, faktor emosional juga sering berperan. Banyak individu mencari kenyamanan dalam makanan, terutama saat mengalami tekanan hidup yang tinggi. Makanan tidak sehat kerap kali diasosiasikan dengan kebahagiaan dan momen-momen bersenang-senang. Kegiatan sosial yang menyajikan makanan cepat saji, camilan manis, dan minuman berenergi sering kali menciptakan pengalaman positif yang sulit dilepaskan. Mari kita ingat momen-momen berkumpul dengan teman atau keluarga, di mana junk food menjadi menu utama, meningkatkan rasa kedekatan dan keakraban di antara kita.