"Anakku, kamu harus menjadi manusia," kalimat inilah yang kerap kali terdengar di tengah-tengah obrolan saya dengan Bapak. Dari bercanda, diskusi, bedah ayat, hingga debat terbuka, topik ini selalu menjadi pembicaraan yang tak pernah luput dari ruang lingkup hubungan kami. Keingintahuan pun terus menggugah anak untuk mencari tahu alasan dan tujuan cita-cita besar Bapak. Saya pun mencoba menafsirkan arti dari kalimat tegas tersebut.
Bukanlah sebuah hal yang mudah untuk menafsirkan nasihat dari Bapak, apalagi ketika kalimat itu terdengar begitu sederhana: "Anakku harus jadi manusia." Dalam pandangan awam, kita semua lahir sebagai manusia, lalu mengapa diharuskan untuk menjadi manusia lagi? Pertanyaan ini selalu membayangi pikiran saya. Namun, ketika saya berusaha untuk merenungkannya lebih dalam, sebuah makna yang mendalam pun mulai terkuak.
Nasihat Bapak untuk "menjadi manusia" mungkin tidak sekadar memperoleh arti harfiah. Mungkin, Bapak ingin menyampaikan pesan bahwa menjadi manusia sejati bukanlah hal yang mudah. Ia mungkin ingin menyiratkan bahwa hidup ini tidak hanya tentang keberadaan fisik kita, melainkan juga tentang bagaimana kita menjalani hidup dengan kebijaksanaan, integritas, keadilan, dan kebaikan hati. Menjadi manusia sejati berarti memiliki akhlak yang mulia, kejujuran yang tak tergoyahkan, serta sikap yang baik dan santun terhadap sesama.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, Bapak mungkin juga ingin menyampaikan bahwa kita harus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi segala rintangan dan kompleksitas kehidupan. Ia mungkin ingin anaknya memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai kehidupan, kemampuan untuk berpikir kritis, dan keberanian untuk berbuat yang benar tanpa ragu. Kemampuan untuk berempati, bersikap adil, dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral juga mungkin menjadi tujuan dari nasihat Bapak.