Di satu sisi, keinginan untuk melakukan modifikasi tubuh dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi diri dan kebebasan individu untuk memilih bagaimana mereka ingin terlihat. Setiap orang memiliki preferensi estetika yang berbeda, dan jika seseorang merasa lebih percaya diri dan bahagia dengan penampilannya setelah melakukan prosedur tertentu, maka hal itu bisa dianggap sebagai pilihan pribadi. Kemajuan teknologi di bidang estetika juga memungkinkan individu untuk mewujudkan perubahan yang mereka inginkan dengan risiko yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan beberapa dekade lalu.
Namun, di sisi lain, popularitas tren-tren ini juga memunculkan kekhawatiran mengenai tekanan sosial dan standar kecantikan yang sempit. Ketika fitur-fitur wajah tertentu terus-menerus dipromosikan sebagai "ideal" atau "menarik," hal ini dapat menciptakan perasaan tidak puas dan insecure pada individu yang tidak memiliki fitur tersebut secara alami. Tekanan untuk mengikuti tren agar diterima atau dianggap menarik oleh lingkungan sosial dapat menjadi sangat kuat, terutama bagi generasi muda yang masih dalam proses pencarian identitas.
Selain itu, adanya beauty bias atau preferensi terhadap fitur-fitur wajah tertentu juga dapat memperkuat tekanan ini. Misalnya, di beberapa budaya, hidung mancung dan bibir penuh seringkali dianggap sebagai simbol kecantikan, sehingga mendorong individu yang tidak memilikinya untuk mempertimbangkan operasi atau filler. Hal ini menunjukkan bahwa tren kecantikan tidak selalu muncul dari keinginan individu semata, tetapi juga dipengaruhi oleh konstruksi sosial tentang apa yang dianggap menarik.