Sebuah penelitian terkini yang diterbitkan dalam jurnal Neurology pada 5 Maret menunjukkan bahwa stres kronis dapat meningkatkan risiko terkena stroke pada orang dewasa muda, terutama pada perempuan. Selama ini, para peneliti telah menyadari bahwa stres berdampak negatif pada sistem kardiovaskular. Namun, baru-baru ini terlihat bahwa stres dapat menjadi faktor penentu risiko stroke di kalangan orang dewasa muda dengan angka yang semakin mengkhawatirkan.Pentingnya temuan ini disampaikan oleh Lauren Patrick, MD, seorang asisten profesor neurologi dan ahli saraf vaskular di University of California San Francisco. Ia menekankan bahwa stres psikologis yang berkepanjangan bisa berperan dalam disfungsi vaskular, sehingga manajemen stres menjadi krusial dalam pencegahan stroke.Fokus penelitian ini adalah untuk memahami lebih dalam hubungan antara stres dan risiko stroke iskemik dini, jenis stroke yang paling umum terjadi. Stroke iskemik terjadi akibat penyumbatan yang mengganggu aliran darah ke otak. Beberapa penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi faktor risiko stroke di kalangan orang muda, baik faktor "tradisional" seperti hipertensi dan kebiasaan konsumsi alkohol, maupun yang kurang dikenal seperti stres.Untuk mengeksplorasi lebih lanjut, para peneliti merekrut 426 individu berusia 18 hingga 49 tahun yang telah mengalami stroke iskemik, dengan hampir setengah dari peserta adalah perempuan. Mereka juga melibatkan 426 orang lain yang tidak pernah mengalami stroke tetapi memiliki usia dan jenis kelamin yang sama. Semua peserta diminta untuk mengisi kuesioner mengenai tingkat stres mereka selama sebulan, sementara kelompok yang mengalami stroke menjawab pertanyaan tambahan tentang tingkat stres sebelum stroke terjadi.Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok dengan stroke melaporkan tingkat stres yang jauh lebih tinggi. Sekitar 46 persen dari mereka yang terserang stroke mencatat tingkat stres sedang hingga tinggi, sedangkan angka tersebut hanya mencapai 33 persen di antara mereka yang tidak mengalami stroke. Bilamana kita memfokuskan perhatian pada perempuan, mereka yang mengalami tingkat stres moderat memiliki kemungkinan 78 persen lebih tinggi untuk mengalami stroke, dan tingkat stres tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke sebesar 6 persen. Uniknya, hasil ini menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara stres dan risiko stroke pada pria.Para peneliti menggarisbawahi bahwa luka stroke dan stres saling berkorelasi dan bukan hanya satu menyebabkan yang lain. Menurut Nicolas Martinez-Majander, MD, PhD, seorang ahli saraf dan peneliti di Rumah Sakit Universitas Helsinki di Finlandia, studi ini menunjukkan adanya korelasi antara stress dan risiko stroke yang meningkat, bukan hubungan kausal.Martinez-Majander juga menyatakan bahwa ada teori yang menjelaskan mengapa stres dapat memengaruhi kesehatan jantung. Sejumlah faktor, seperti lonjakan tekanan darah secara tiba-tiba akibat stres, aritmia jantung yang disebabkan oleh stres, serta peradangan jangka panjang, mungkin turut berkontribusi. Selain itu, individu yang mengalami stres cenderung terlibat dalam perilaku berisiko yang merugikan kesehatan jantung, seperti merokok, kurang berolahraga, pola makan yang buruk, serta penggunaan zat-zat terlarang.Meskipun stres tidak langsung menyebabkan stroke, Patrick berpendapat bahwa stres dapat memicu serangkaian perubahan fisiologis yang dapat meningkatkan risiko stroke. Karenanya, paparan stres berkepanjangan perlu diwaspadai sebagai kemungkinan faktor risiko bagi kesehatan pembuluh darah.Fenomena ini juga bisa jadi disebabkan oleh beban sosial yang sering kali dihadapi perempuan, yang berperan dalam berbagai aspek kehidupan seperti bekerja, menjaga keluarga, dan mengurus anak. Semoga penelitian ini menjadi dorongan bagi individu untuk lebih memperhatikan tingkat stres mereka. Meskipun mustahil untuk menghilangkan stres sepenuhnya dari kehidupan, penting untuk mengelolanya. Tanda-tanda stres meliputi kecemasan yang berkepanjangan, kesulitan tidur, sakit kepala, peningkatan tekanan darah, dan kelelahan yang terus menerus.Memperhatikan pola makan, kemampuan berkonsentrasi, serta masalah lainnya seperti nyeri tubuh juga harus dilakukan. Jika mengalami gejala tersebut, perlu diwaspadai sebagai tanda bahwa Anda mengalami tekanan yang perlu ditangani, termasuk mengenali gejala awal stroke seperti kelemahan mendadak, kesulitan berbicara, masalah penglihatan, atau sakit kepala hebat.Patrick menambahkan bahwa pengenalan dini terhadap gejala stroke sangat penting untuk intervensi yang tepat waktu. Selain itu, berolahraga secara rutin, setidaknya 150 menit per minggu, dan terlibat dalam latihan kesadaran seperti meditasi, yoga, atau aktivitas aktif lainnya dapat sangat membantu. Mengenali kapan stres menjadi berat dan mencari bantuan juga tak kalah penting. Jika Anda merasa bingung tentang bagaimana stres memengaruhi kesehatan Anda, berkonsultasilah dengan tenaga medis untuk mendapatkan panduan yang tepat.