Ada juga faktor lingkungan yang turut berperan dalam perasaan ini. Lingkungan yang sepi atau kurang familiar dapat memicu rasa cemas. Ketika kita berada di tempat yang sepi, kita cenderung lebih peka terhadap suara dan gerakan, yang bisa menimbulkan ilusi bahwa kita sedang diperhatikan. Dalam keadaan seperti ini, suasana sekeliling bisa memicu memori atau imajinasi kita yang membuat kita merasa seolah-olah sedang dinilai atau diawasi.
Dari sudut pandang biologis, ada juga yang menyebutkan bahwa hormon dapat berperan dalam perasaan tersebut. Misalnya, saat kita merasa cemas, tubuh kita mengeluarkan hormon stres seperti kortisol yang dapat meningkatkan sensitivitas kita terhadap faktor-faktor di sekitar, sehingga kita lebih cepat merasa diawasi. Perasaan ini seringkali diperkuat dalam situasi stres, seperti berbicara di depan umum, di mana kita merasa bahwa setiap gerakan dan kata-kata kita sedang diperhatikan oleh orang lain.
Ada juga teori yang menyatakan bahwa media dan budaya kita dapat membangun persepsi ini. Dalam banyak film dan acara televisi, individu digambarkan dalam situasi di mana mereka merasa diawasi, bahkan jika tidak ada satupun karakter lain di dekat mereka. Ketika kita terpapar pada berbagai bentuk media yang mengedepankan tema pengawasan ini, kita mulai menginternalisasi ide bahwa kita selalu berada dalam radar pengamatan, meskipun tidak ada yang benar-benar memperhatikan kita.