Pemerintah Mulai Bayar Utang Rafaksi Minyak Goreng Rp474 M ke Peritel
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengumumkan bahwa Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mulai membayar utang rafaksi minyak goreng sebesar Rp474 miliar kepada para pelaku usaha. Meskipun demikian, besarnya jumlah utang yang sudah dibayarkan masih belum dapat dipastikan mengingat proses pembayaran tersebut masih berlangsung.
"Dalam prosesnya sudah ada yang dibayar. Proses pembayaran tersebut tengah berlangsung di BPDPKS," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Isy Karim di Kemendag pada hari Rabu (19/6).
Isy mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil verifikasi dari PT Sucofindo selaku lembaga survei, jumlah total utang yang harus dibayarkan kepada pelaku usaha minyak goreng mencapai Rp474 miliar. Utang tersebut akan dibayarkan kepada produsen minyak goreng terlebih dahulu sebelum kemudian disalurkan kepada para peritel.
"Proses ini masih dalam tahap pengelompokan pembayaran, dimana perusahaan A akan mendapatkan sejumlah tertentu dan perusahaan B mendapatkan sejumlah lainnya. Pembayaran tersebut akan dialokasikan kepada produsen terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada peritel," tambahnya.
Permasalahan ini muncul ketika pemerintah melakukan intervensi dalam pasar dengan mewajibkan seluruh ritel modern yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) untuk menjual minyak goreng seharga Rp14 ribu per liter pada tahun 2022.
Kebingungan muncul ketika terbitnya Permendag Nomor 3 Tahun 2022, yang semestinya akan berlaku selama enam bulan, kemudian digantikan oleh Permendag Nomor 6 Tahun 2022, hanya satu bulan setelah diterbitkan. Akhirnya, Permendag Nomor 3 Tahun 2022 yang mengatur tentang pembayaran rafaksi tersebut menjadi tidak berlaku lagi.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut dalam upaya untuk mengendalikan harga minyak goreng agar tetap terjangkau bagi masyarakat. Namun, keputusan tersebut menimbulkan konsekuensi terkait pembayaran utang rafaksi bagi pelaku usaha. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan kesulitan bagi para pelaku usaha dan para pelaku ekonomi di sektor minyak goreng.