Kementerian Ketenagakerjaan seharusnya lebih proaktif dalam mengakomodasi kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh pekerja ojek online. Saat ini, perlindungan terhadap pekerja ojol masih menjadi perdebatan yang belum selesai. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan satu pihak, namun juga berdampak positif bagi semua pihak yang terlibat.
Pengemudi ojol merupakan salah satu sektor pekerjaan yang saat ini mendapat sorotan karena perkembangan teknologi dan aplikasi digital. Penggunaan aplikasi ojek daring semakin populer di masyarakat karena dinilai lebih efisien dalam transportasi pada era digital ini. Namun, keberadaan pengemudi ojol juga menimbulkan isu tentang perlindungan pekerja dan kesejahteraan mereka, terutama terkait dengan regulasi kepesertaan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Seiring dengan kemajuan teknologi, pekerja ojek online atau ojol menjadi salah satu kelompok pekerja yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dalam hal perlindungan dan kesejahteraan. Namun, kebijakan terbaru terkait keanggotaan iuran Tapera telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengemudi ojol. Keputusan pemerintah untuk memungut iuran sebesar 3 persen dari pendapatan pekerja ini menuai penolakan dari beberapa organisasi, seperti Asosiasi Driver Ojol dan Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI).
Ketua Asosiasi Driver Ojol, Taha Syafariel, menolak keras rencana pungutan Tapera tersebut karena dianggap merugikan pengemudi ojol. Menurutnya, aturan ini justru semakin memposisikan pengemudi ojol sebagai kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan tersiksa. Pemungutan iuran yang dilakukan dinilai tidak sesuai dengan kesejahteraan para pengemudi ojol.
Selain itu, Taha juga menyebut bahwa pengemudi ojol sudah seharusnya mendapatkan perlindungan dan hak-hak yang layak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Menurutnya, para pekerja ojol saat ini tidak mendapatkan perlakuan yang adil, misalnya tunjangan hari raya dan skema kemitraan tanpa perjanjian kerja yang jelas. Oleh karena itu, penolakan terhadap kebijakan Tapera dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang layak bagi para pengemudi ojol.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, yang menilai kebijakan ini akan memberatkan dan mengurangi penghasilan para pekerja. Lily melihat bahwa potongan sebesar 3 persen dari upah sangat memberatkan pekerja angkutan online, terutama di tengah kenaikan harga barang-barang. Selain itu, potongan yang dilakukan oleh aplikasi ojek daring juga telah merugikan pekerja dengan melakukan potongan lebih dari yang diatur pemerintah.