Kerugian Tembus Rp 1 Triliun: Bukti Bahwa Keamanan Digital Kita Masih Rapuh
Angka Rp 1 triliun bukan hanya sekadar statistik. Itu adalah representasi nyata dari tabungan hilang, modal usaha lenyap, uang belanja bulanan melayang, hingga dana darurat yang tak kembali. Para ahli keamanan siber menilai angka ini sebagai alarm besar bahwa tingkat literasi digital di Indonesia belum sebanding dengan pertumbuhan transaksi online yang melesat.
Laporan-laporan yang masuk menunjukkan kerugian datang dari berbagai bentuk:
-
rekening yang tiba-tiba terkuras setelah korban mengklik tautan palsu,
-
pembelian fiktif di marketplace,
-
pembayaran “konfirmasi pesanan” yang ternyata tidak pernah ada,
-
hingga aplikasi palsu yang mencuri PIN atau data OTP.
Walau berulang kali diingatkan untuk tidak membagikan kode OTP kepada siapa pun, korban tetap mengaku bahwa pelaku begitu meyakinkan hingga mereka merasa sedang berbicara dengan pihak resmi.
Marketplace dan Bank Didesak Bertanggung Jawab
Di tengah meningkatnya kerugian, suara masyarakat mulai menuntut marketplace, bank, dan penyedia layanan pembayaran agar memperketat sistem keamanan. Banyak yang mempertanyakan mengapa sistem autentikasi belum mampu mendeteksi aktivitas mencurigakan secara otomatis.
Sejumlah lembaga perlindungan konsumen juga sudah mendorong adanya regulasi lebih tegas terhadap penanganan penipuan digital, termasuk kewajiban platform untuk menyediakan sistem pelacakan transaksi yang lebih transparan serta fitur edukasi keamanan yang muncul otomatis ketika pengguna melakukan pembayaran.
Tak sedikit pula yang menganggap bahwa customer service platform e-commerce masih terlalu lambat merespons, sehingga memberikan ruang bagi para pelaku kejahatan untuk bergerak lebih cepat daripada sistem bantuan resmi.