Ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel tak hanya mengguncang kawasan Timur Tengah tapi juga memicu fluktuasi harga minyak dunia. Dalam beberapa pekan terakhir, konflik antara kedua negara tersebut semakin meningkat, menyebabkan kekhawatiran di pasar global, khususnya di sektor energi. Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak, pada awalnya mungkin merasa diuntungkan oleh lonjakan harga minyak yang sering kali terjadi saat konflik meletus. Namun, tidak semua begitu sederhana, karena dampak dari gejolak ini memiliki sisi positif dan negatif.
Saat ketegangan memanas, harga minyak dunia sempat melonjak tajam, memberikan harapan bahwa Indonesia bisa mendapatkan keuntungan dari penjualan minyak yang lebih tinggi. Namun, di balik optimisme ini, terdapat faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Ketika konflik berlangsung, banyak negara yang juga menghadapi situasi serupa, berujung pada ketidakpastian di pasar global. Kejadian ini bukan hanya mengenai krisis minyak, tetapi juga berimbas pada pemasokan komoditas lain.
Di sisi lain, Indonesia sangat bergantung pada ekspor komoditas pertanian dan pertambangan, seperti batu bara dan sawit. Penurunan harga minyak global akibat meredanya ketegangan dapat menyebabkan fluktuasi harga komoditas yang kritis tersebut. Jika pasar global berbalik dari minyak ke energi alternatif atau beralih pada industri hijau, dampaknya akan dirasakan oleh para petani dan pengusaha komoditas di dalam negeri. Penurunan permintaan global akan memengaruhi pendapatan nasional dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada sektor-sektor ini.