Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia baru-baru ini menyatakan bahwa Indonesia mengeluarkan dana sebesar Rp 450 triliun setiap tahunnya untuk impor minyak dan gas. Angka yang fantastis ini mengindikasikan seberapa besar ketergantungan Indonesia terhadap sumber energi luar negeri, dan tentu saja berdampak signifikan terhadap devisa negara.
Bahlil Lahadalia menyoroti kenyataan bahwa Indonesia sebagai produsen minyak dan gas, harus mengimpor bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sehingga menyebabkan arus devisa yang cukup besar mengalir keluar setiap tahunnya. Menurutnya, hal ini menjadi sebuah momok yang harus segera diatasi melalui strategi energi nasional yang lebih mandiri.
“Devisa kita setiap tahun keluar kurang lebih Rp 450 triliun untuk membeli minyak dan gas, khususnya LPG,” ujar Bahlil dalam acara Leaders Forum di Jakarta, Rabu (11/9/2024).
Di sisi lain, produksi migas dalam negeri juga menurun dibandingkan dahulu. Lifting migas RI pada tahun 1970-an mencapai 1,6 juta barrel per hari (bph), namun saat ini hanya berkisar 600.000 bph.
Impor minyak dan gas menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan defisit neraca perdagangan dalam negeri. Bahlil Lahadalia menekankan pentingnya untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi luar negeri dengan mengoptimalkan sumber daya energi dalam negeri. Adanya upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan diversifikasi sumber energi menjadi langkah penting dalam mengurangi defisit perdagangan yang disebabkan oleh impor minyak dan gas ini.