Salah satu aspek menarik yang muncul dari materialisme adalah pergeseran dalam cara kita memandang kebahagiaan. Dalam budaya yang menekankan pencapaian materi, banyak orang menganggap bahwa kebahagiaan dapat dibeli dengan uang. Mereka berpendapat bahwa kekayaan memungkinkan akses ke barang-barang dan gaya hidup yang diimpikan, yang seringkali menjadi ukuran status sosial. Namun, apakah benar bahwa kebahagiaan sejati hanya terletak pada kekayaan materi? Bukankah banyak orang yang memiliki segalanya tetapi tetap merasa kosong dan tidak puas?
Dalam kehidupan modern yang didominasi oleh teknologi dan media sosial, kita semakin sering terpapar pada gaya hidup orang lain yang glamor dan serba berkecukupan. Hal ini dapat menciptakan dorongan untuk bersaing dalam hal materi, memicu rasa tidak puas yang mendalam. Efek negatifnya, individu menjadi lebih terfokus pada pencapaian finansial dan barang-barang baru, daripada hubungan sosial yang autentik. Realitas ini berpotensi mengganggu keseimbangan psikologis dan emosional, sebab mereka yang mengukur nilai diri berdasarkan pencapaian materi seringkali terjebak dalam siklus keinginan yang tak ada habisnya.