Tren kebangkrutan bank perekonomian rakyat (BPR) di Indonesia semakin meningkat dalam paruh pertama tahun 2024. Data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa sebanyak 12 BPR telah kehilangan izin usahanya, jumlah yang jauh melampaui rata-rata kebangkrutan per tahun selama 18 tahun terakhir. Hal ini menjadi perhatian serius, terutama karena keadaan ekonomi yang sedang tidak menguntungkan.
Menurut catatan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), setiap tahun sekitar 6 hingga 7 BPR tutup akibat kesalahan manajemen pemimpinnya. Fenomena ini menjadi sorotan karena dipandang bukan semata-mata akibat kondisi ekonomi yang buruk, tetapi lebih disebabkan oleh kelalaian dalam pengelolaan. Purbaya, seorang perwakilan dari LPS, menyatakan bahwa hal ini menjadi perhatian serius, dan LPS terus berkoordinasi dengan OJK untuk menangani hal ini serta menciptakan iklim perbankan yang lebih kondusif.
Mendapat anggaran untuk menyelamatkan 12 BPR yang bangkrut dalam setahun menjadikan harapan bahwa masalah ini bisa ditangani secara efektif. Namun, Purbaya juga menegaskan bahwa angka tersebut masih bisa berubah tergantung dari perkembangan keadaan. Selain itu, program konsolidasi BPR dari OJK juga menjadi salah satu upaya untuk menanggulangi tren kebangkrutan ini. Diperlukan tindakan tegas dan kolaborasi semua pihak terkait untuk menangani masalah ini agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Sebagai rujukan, berikut adalah daftar 12 BPR yang dicabut izin usahanya sepanjang tahun 2024:
1. BPR Wijaya Kusuma (Madiun)
2. BPRS Mojo Artho Kota (Mojokerto)
3. BPR Usaha Madani Karya Mulia (Surakarta)
4. BPR Pasar Bhakti (Sidoarjo)
5. BPR Purworejo (Purworejo)
6. BPR EDC Cash (Tangerang, Banten)
7. BPR Aceh Utara (Aceh Utara)
8. BPR Sembilan Mutiara (Pasaman Barat, Sumatera Barat)
9. BPR Bali Artha Anugrah (Denpasar, Bali)
10. BPRS Saka Dana Mulia (Kudus, Jawa Tengah)