Atas dasar itulah kelimanya memutuskan mengajukan gugatan uji materiil ke MK agar hakim konstitusi memberikan tafsir yang jelas atas frasa 'barang siapa' dalam pasal tersebut.
Pasal 330 ayat 1 KUHP menyebutkan:
"Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun."
Virza mengungkapkan bahwa kenyataan di lapangan banyak laporan yang ditolak kepolisian dengan alasan yang mengambil paksa adalah orang tua kandung.
"Jadi dalam permohonan ini kami minta hakim menafsirkan di frasa barang siapa. Kami minta supaya pasal ini ditafsirkan sebagai setiap orang tanpa kecuali. Ayah atau ibu kandung jangan dikecualikan..."
Siti Aminah Tardi dari Komnas Perempuan mendukung langkah para ibu tunggal mengajukan permohonan uji materiil pasal bermasalah ini ke Mahkamah Konstitusi.
Jika mencermati isi pasal tersebut, kata Ami, polisi semestinya berpatokan pada frasa "menarik seseorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang".
Apa yang dilakukan oleh lima perempuan ini, kata Ami, mewakili perempuan-perempuan lain yang tak berdaya meski telah mengantongi hak asuh yang sah. Sederhananya, siapa pun yang mengambil paksa tanpa hak secara hukum, bisa dipidana terlepas bahwa itu ayah atau ibu kandung, menurut Ami.
"Contoh ketika hak asuh yang sah jatuh ke tangan ibu, maka ayah kandung jika ingin mengajak jalan-jalan anak ke luar negeri harus seizin ibunya."
"Jadi memang betul Pasal 330 ayat 1 harus diberikan tafsir yang jelas."
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polri, AKBP Ema Rahmawati, mengakui secara terang benderang soal adanya ketidaksamaan penafsiran di antara penegak hukum mengenai Pasal 330 ayat 1 KUHP sehingga implementasi di lapangan memang jadi berbeda-beda.
Namun, katanya, sebagian besar polisi masih berpandangan bahwa anak berhak diasuh oleh kedua orang tuanya walaupun kuasa hak asuh berada di salah satu pihak – merujuk pada UU Perlindungan Anak.
Itu mengapa kendati anak tersebut "diambil paksa" oleh salah satu orang tua yang sudah bercerai dan tak memiliki hak asuh yang sah, dianggap bukanlah tindak pidana penculikan. Sebab ayah maupun ibu berhak memberikan kasih sayang dan pengasuhan, kata Ema.
"Pemahaman tadilah yang membuat ambigu terhadap penafsiran Pasal 330 ayat 1 KUHP ini, jadi ketika anak berada dalam kuasa hak asuh ibu dan diambil paksa oleh suaminya, tidak bisa dilaporkan penculikan," jelas Ema.
"Kecuali yang mengambil paksa bukan oleh orang tuanya, kami bisa pakai Pasal 330 ayat 1 dan ada yang sudah P21 berkas perkara penyidikan lengkap."
Di tengah situasi yang disebutnya "ambigu" tersebut, Ema mengatakan ada baiknya memang diuji ke Mahkamah Konstitusi agar ada kejelasan soal tafsir pasal ini.
Apakah frasa barang siapa bisa mencakup orang tua kandung atau tidak.
Jika hakim konstitusi nantinya memutuskan frasa 'barang siapa' dapat menyasar ayah dan ibu kandung maka para penyelidik dan penyidik di lapangan tak akan lagi menolak laporan yang diadukan, klaimnya. Begitu juga jaksa dan hakim, menurutnya, akan menyeragamkan pemahaman.
"Asal jelas barang siapa meliputi tidak terkecuali orang tua kandung, maju jalan kami, enggak ada penolakan-penolakan lagi atas kasus-kasus begini."
Kini, sidang permohonan Angelia, Shelvia, dan tiga ibu tunggal lainnya bakal memasuki babak akhir di Mahkamah Konstitusi. Angelia, ibunda EJ, sangat berharap hakim MK mendengarkan suaranya, karena yang dia inginkan hanya agar anaknya ditemukan.