Tampang

Putusan Mahkamah Konstitusi, Ayah Atau Ibu Kandung yang Mengambil Paksa Anak Bisa Dijerat Pasal 330 ayat 1 KUHP

28 Sep 2024 19:07 wib. 173
0 0
Putusan Mahkamah Konstitusi, Ayah Atau Ibu Kandung yang Mengambil Paksa Anak Bisa Dijerat Pasal 330 ayat 1 KUHP
Sumber foto: Google

Di ruang tengah apartemennya, mobil mainan berwarna merah yang sering dipakai EJ keliling kamar masih dibiarkan teronggok bersama beberapa sepeda anaknya. Tas sekolah, buku gambar, bola basket, pakaian dan segala hal miliknya dibiarkan di tempat semula.

"Semuanya memang saya biarkan seperti dulu, jadi kalau nanti EJ pulang dia masih bisa lihat semuanya masih sama," ucapnya penuh harap.

Enrico Johannes adalah anak satu-satunya Angelia Susanto yang lahir pada 5 Juni 2013. Tapi empat tahun lalu  tepatnya pada 30 Januari 2020 Angelia mengeklaim putranya itu diculik oleh seseorang dalam perjalanan menuju sekolah. Angelia menduga orang tersebut adalah ayah kandung EJ.

Setiap kali mengingat peristiwa tersebut, Angelia tak bisa menahan tangis. Air matanya tumpah, tapi suaranya tersendat. Terasa seperti jeritan seorang ibu yang merindukan sang anak.

"Saya tidak akan lupa seumur hidup saya," ungkapnya sambil menyeka air mata.

"Saya cuma pernah merasakan kehilangan yang berat waktu ayah saya meninggal."

"Rasanya saya mau mati saat itu juga, karena satu-satunya alasan saya hidup adalah EJ ternyata enggak ada dan diambil oleh orang yang paling kejam yang saya kenal."

Angelia menikah dengan mantan suaminya pada 2001. Keduanya berkenalan ketika Angelia masih duduk di bangku kuliah. Sementara pasangannya adalah warga Filipina yang kala itu bekerja di Indonesia sebagai IT Specialist.

Meskipun usia mereka terpaut jauh delapan tahun Angelia tak mempersoalkan hal itu. Mereka pun menikah di Bogor, Jawa Barat. Di awal-awal pernikahan, Angelia mengaku hubungannya dengan sang suami berjalan harmonis.

Hingga suatu saat, Angelia ditugaskan ke Singapura pada 2005. Setahun kemudian, suaminya itu menyusul dan meninggalkan pekerjaannya di Indonesia, kemudian tak pernah bekerja lagi. Pada momen itulah, klaim Angelia, masalah di rumah tangganya mulai bermunculan hingga berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik verbal maupun fisik.

Mulanya dia mengaku menerima saja perlakuan sang suami karena dianggap pertengkaran biasa yang akhirnya akan baikan lagi. Itu kenapa, Angelia mengaku dirinya tak pernah melakukan visum. Pertengkaran untuk hal-hal kecil, yang saya pikir enggak akan menjadi masalah. Contoh, saya beli tisu dengan merek berbeda dari yang dia mau, bisa berantem.

Segala barang penempatannya harus dia yang menentukan. Kalau marah, agresinya menghancurkan barang, bentak-bentak saya. Bodohnya saya tidak pernah melakukan visum dan dia kalau pukul di area yang sulit berbekas," klaim Angelia.

Menurut Angelia, kelahiran putranya, Enrico Johannes, pada 2013, tak juga membuat pertengkaran dan kekerasan yang dialaminya mereda. Alih-alih, klaim Angelia, ada kejadian dia dipukul saat sedang menyusui. Angelia juga mengeklaim sang suami melakukan kekerasan psikis terhadapnya.

"Dia seperti mengecilkan harga diri saya dengan membuat saya tidak ada apa-apanya. Dan itu diulang-ulang terus, saya dibuat ketergantungan psikis yang sangat besar,” kata Angelia.

"Itu yang membuat saya berpikir, ini enggak bisa dibiarkan,” sambungnya.

Angelia mengatakan dirinya semakin yakin untuk bercerai karena, menurutnya, kekerasan verbal dan fisik terus berlangsung ditambah tekanan psikis dari suami. Angelia akhirnya mengajukan permohonan cerai setahun setelah pulang ke Indonesia pada tahun 2015 ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Dia beralasan sudah tak sanggup lagi menanggung kekerasan yang dialami, apalagi sampai membahayakan anaknya. Akan tetapi, proses perceraian itu tak berjalan mulus sebab suaminya tersebut menolak berpisah jika tak diberikan harta gono-gini yang nilainya mencapai miliaran rupiah, klaim Angelia.

Tak ada pilihan lain, Angelia pun menerima persyaratan tersebut. Bekas suaminya pun akhirnya menandatangani surat persetujuan cerai, kata Angelia. Pada 24 Oktober 2017, hakim PN Jakarta Pusat mengetok palu: mengabulkan perceraian dan menjatuhkan hak asuh serta pemeliharaan anak kepada penggugat, yakni Angelia Susanto. Namun, menurut Angelia, mantan suaminya tiba-tiba mengajukan banding bahkan kasasi. Belakangan semua putusan hukum menguatkan putusan PN Jakarta Pusat yang berpihak pada Angelia.

"Jadi benar-benar selesai itu 7 September 2020 dengan putusan kasasi Mahkamah Agung."

Hambatan kultur dan hukum inilah yang membuat Angelia dan Shelvia, bersama tiga ibu lain yang bernasib sama dengan mereka, mengajukan gugatan uji materiil Pasal 330 ayat 1 KUHP ke Mahkamah Konstitusi.

Menurut pengacara yang mendampingi mereka, Virza Roy Hizzal, gugatan uji materiil ini ditempuh karena pasal itu dianggap multitafsir atau dimaknai berbeda-beda oleh anggota kepolisian.

Dari lima kliennya yang pernah membuat laporan Pasal 330 ayat 1 KUHP ke polisi, kata Virza, empat di antaranya tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur dan menyembunyikan anak adalah ayah kandung sendiri. Satu laporan kliennya diterima, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan.

#HOT

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Indonesia Menuju Indonesia Emas atau Cemas? Dengan program pendidikan rakyat seperti sekarang.